Selasa, 30 Oktober 2012

Oeang Poetih Kita!

Oeang Poetih Kita

Oeang Repoeblik Indonesia (ORI) adalah uang kertas yang pertama kali dikeluarkan oleh pemerintah Republik Indonesia. Uang tersebut dikeluarkan untuk menggantikan uang Hindia belanda dan uang Jepang yang masih berlaku sebagai alat pembayaran yang sah pada waktu Republik Indonesia masih berdiri. 
Pengeluaran ORI tidak berjalan dengan lancar. Rencana untuk membuat uang sendiri dilakukan pada waktu pemerintah republik berada di Jakarta, tetapi ketika ORI dikeluarkan, pemerintah sudah pindah ke Yogyakarta. Sesungguhnya perencanaannya dan permulaan dari proses pencetakannya berlangsung di tengah desingan peluru, kepulan asap mesiu dan ledakan bom. Situasi yang rawan sekitar usaha pengeluarannya membuat ORI sangat dekat di hati rakyat.
ORI tercatat sebagai alat yang mempersatukan tekad seluruh bangsa Indonesia untuk bersama-sama pemerintah Republik berjuang menegakkan kemerdekaan. 
ORI yang ditandatangani oleh Menteri Keuangan A.A. Maramis dan diberi tanggal 17 Oktober 1945, mulai beredar tanggal 30 Oktober 1946 dan ditarik kembali pada Maret 1950. Jadi hidupnya tidak lama, hanya 3 tahun 5 bulan.
1 Rupiah ORI 1945

ORI dimaksudkan untuk diedarkan sebagai alat pembayaran yang sah di seluruh daerah yang berada dalam kekuasaan Republik Indonesia pada waktu itu. Meliputi sebagian besar Pulau Jawa dan Madura serta Pulau Sumatera. Akan tetapi kesukaran-kesukaran di bidang pengangkutan menyebabkan ORI tidak sempat diedarkan di Pulau Sumatera. Sebagai alat pembayaran yang sah pada akhir 1947, di beberapa daerah di Sumatera telah dikeluarkan uang yang dikenal dengan macam-macam nama, seperti Oeang Repoeblik Sumatera (ORIPS), Uang Republik Sumatera Utara (URISU), Uang Republik Daerah Djambi (URIDJA), Uang Republik Indonesia Daerah Aceh (URIDA),Oeang Repoeblik Indonesia Daerah Tapanoeli (ORITA). Pemerintah Daerah Banten juga mengeluarkan Oeang Repoeblik Daerah Banten (ORIDAB). Bersamaan dengan penggantian ORI dengan uang baru pada bulan Maret 1950, jenis-jenis uang yang telah diedarkan oleh pemerintah daerah juga ditarik kembali.
Harian Kedaulatan Rakjat 28 Oktober 1946


ORI an Instrument of Revolution
Dalam buku peringatan Bung Hatta berusia 70 tahun, Sjafruddin Prawiranegara yang kemudian menjadi Gubernur pertama dari Bank Indonesia mengenang kembali pertemuannya dengan Wakil Presiden Hatta sebagai berikut:
"pertemuan itu terjadi pada bulan September atau Oktober 1945 di gedung yang sekarang ditempati oleh Mahkamah Agung, di samping bagian uatara dari Departemen Keuangan. Gedung itu merupakan kantor Presiden dan Wakil Presiden, Bung Karno dan Bung Hatta. Pertemuan itu diadakan untuk membicarakan suatu usul yang mula-mula disampaikan kepada saya oleh beberapa kawan dari Bandung-siapa persis saya tidak ingat lagi-tetapi yang gagasannya sesungguhnya sudah timbul juga dalam pikiran saya. Yakni usul untuk menyarankan kepada pemerintah Republik Indonesia yang baru lahir itu, supaya mengeluarkan uang Republik Indonesia sendiri sebagai pengganti uang Jepang yang masih berlaku pada waktu itu. Karena usul mereka itu memang cocok dengan pikiran saya, maka terus diusahakan supaya kami dapat diterima oleh Bung Hatta, yang dipandang paling kompeten dalam masalah uang, untuk menyampaikan isi hati kami. Wakil Presiden mula-mula sangsi tentang perlunya mengeluarkan uang baru. Tetapi sesudah diadakan sekedar tukar pikiran lebih lanjut, pada akhirnya beliau dapat pula diyakinkan tentang perlunya pemerintah mengeluarkan uang sendiri, dengan alasan bahwa Republik Indonesia adalah negara baru, dan karena itu perlu diadakan uang baru sebagai salah satu atribut negara merdeka dan berdaulat".
-------
Mungkin dapat dikatakan-sebagaimana dikemukakan oleh Sjafruddin dalam karangannya di dalam buku tersebut-bahwa pembicaraannya denganWakil Presiden Hatta merupakan permulaan dari lahirnya ORI.
Sjafruddin Prawiranegara, A.A Maramis, Mohammad Hatta

ORI mula-mula memang dimaksudkan sebagai salah satu lambang (atribut) negara yang merdeka dan berdaulat, akan tetapi ORI sesungguhnya telah menjadi sesuatu yang lebih dari itu, yaitu menjadi alat perjuangan revolusi.
Tidak lama setelah percakapan di atas, pemerintah Republik Indonesia memutuskan untuk mengeluarkan uang baru, yaitu Uang Republik Indonesia sendiri, tidak hanya untuk menggantikan uang Jepang saja, tetapi juga uang Hindia Belanda.

Di Tengah Asap Mesiu dan Ledakan Bom
Setelah keputusan untuk mengeluarkan uang sendiri diambil oleh pemerintah, maka pada tanggal 24 Oktober 1945 Menteri Keuangan A.A Maramis menginstruksikan kepada suatu tim dari Serikat Buruh Percetakan G. Kolff di Jakarta untuk melakukan peninjauan ke beberapa daerah, yaitu Surabaya, Malang, Solo, dan Yogyakarta, guna menentukan tempat pencetakan uang. Sebagai hasil peninjauan tersebut, tim berpendapat bahwa ada dua tempat yang memenuhi syarat yaitu Percetakan G. Kolff di Jakarta yang waktu itu dikuasai oleh Serikat Buruhnya, dan Nederlands Indische Metaalwaren en Emballage Fabrieken (NIMEF) di Kendalpayak, sebelah selatan kota Malang. 
Untuk meresmikan dan menertibkan usaha mengeluarkan uang, maka dengan Surat Keputusan Menteri keuangan No. 3/RO tanggal 7 Nopember 1945 dibentuk "Panitia Penyelenggara Percetakan Uang Kertas Republik Indonesia". Bertugas menyelenggarakan segala sesuatu yang bersangkutan dengan pencetakan uang. Panitia tersebut diketuai oleh TRB Sabarudin (pada waktu itu menjabat Direktur Bank Rakyat Indonesia) dan terdiri dari pejabat-pejabat Departemen Keuangan, Bank Rakyat Indonesia dan beberapa anggota Serikat Buruh Percetakan G. Kolff. Kemudian dibentuk pula panitia untuk mempertimbangkan cara-cara menerima, menyimpan, dan mengedarkan uang baru. Pada waktu pengeluaran uang mendekati penyelesaiannya ditetapkan pula perbandingan nilai uang baru tersebut terhadap uang yang berlaku, perlakuan terhadap uang lama dan kedudukan utang-utang.
Dalam menjalankan tugasnya, panitia penyelenggara menemui banyak kesulitan dan rintangan. Pertama-tama kesulitan untuk memperoleh bahan-bahan yang diperlukan berupa: kertas, tinta, bahan kimia untuk fotografi dan sinkografi, pelat seng untuk klise dan alat-alat seperti mesin aduk untuk membuat tinta. Berkat bantuan sukarela dari para karyawan beberapa perusahaan asing di Jakarta yang belum dikuasai oleh tentara Sekutu (di samping percetakan G. Kolff, juga percetakan De Unie, pabrik cat Pieter Schoen dan lain-lain) bahan dan alat-alat tersebut dapat diperoleh. Oleh karena percetakan G. Kolff pada waktu itu masih dikuasai Belanda, maka pencetakan pertama dilakukan di Percetakan Negara dengan mula-mula mencetak lembaran uang 100 Rupiah. Pembuatan klise dilakukan di Gedung Balai Pustaka dan percetakan De Unie, di sini pula dibuat gambar litografi.
Sementara itu suasana di Jakarta dan di beberapa tempat lainnya di Pulau Jawa menjadi hangat oleh karena kedatangan pasukan Sekutu yang di dalamnya turut pula tentara Belanda. 
Tugas pasukan Sekutu waktu itu adalah menerima penyerahan tentara Jepang dan memulangkan mereka ke negeri asalnya, membebaskan tawanan perang dan tahanan sipil serta menyelenggarakan keamanan dan ketertiban di Indonesia sampai pemerintah Kolonial Belanda mampu menjalankan tugasnya kembali. Tugas yang terakhir ini jelas bertentangan dengan kedaulatan Republik Indonesia sebagai negara merdeka. 
Sejak tanggal 29 September 1945 setiba pasukan Sekutu bentrokan-bentrokan senjata antara BKR (Badan Keaman Rakyat) dengan Sekutu tak dapat dihindarkan. Di antaranya yang paling dahsyat adalah pertempuran yang terjadi di Surabaya pada tanggal 10 Oktober 1945, di mana para pemuda mati-matian mempertahankan kota Surabaya selama tiga minggu.
Menjelang akhir bulan Desember 1945 semua pekerjaan yang bertalian dengan pencetakan ORI terpaksa dihentikan karena keadaan di Kota Jakarta di bawah pendudukan tentara Sekutu tidak memungkinkan lagi untuk meneruskan pekerjaan tersebut. Maka beberapa ratus rim lembaran 100 Rupiah yang belum diberi nomor seri dan segala bahan dan alat yang perlu bersama para karyawan dan keluarganya dipindahkan ke Yogyakarta.

Mengingat situasi keamanan yang semakin memburuk, maka Presiden dan Wakil Presiden pada tanggal 14 Januari 1946 pindah ke Yogyakarta dan kemudian ibukota Republik Indonesia turut pula pindah ke Yogyakarta, untuk menghimpun kekuatan di kota tersebut.
Pencetakan uang kemudian dilanjutkan pada percetakan NIMEF di Kendalpayak, di Solo dan Yogyakarta dengan menggunakan kertas dari pabrik kertas Padalarang dan pabrik kertas Leces (dekat Probolinggo). Untuk memperoleh bahan-bahan lain merupakan perjuangan yang memerlukan ketekunan, kelincahan dan keberanian, karena bahan-bahan tersebut terpaksa diselundupkan dari daerah pendudukan Belanda ke daerah Republik.
NIMEF Kendalpayak Malang setelah Agresi Militer (Foto dari Koleksi Tropen Museum)


Mulai Beredar, "Oeang Kita Menang!!" kata rakyat Jakarta
Sebelum ORI dapat dikeluarkan, pemerintah harus menarik semua uang Jepang dang uang Hindia Belanda dari peredaran dengan cara yang sedikit mungkin merugikan masyarakat. Maka pemerintah memutuskan untuk menarik kedua macam uang tersebut secara berangsur-angsur dari peredaran.
Sebagai tindakan pertama, mulai tanggal 22 Juni 1946 Pemerintah melarang orang membawa uang lebih dari 1000 Rupiah (uang Jepang) dari daerah karesidenan Jakarta, Semarang, Surabaya, Bogor, dan Priangan (yaitu daerah yang ibukotanya telah diduduki Belanda) ke daerah-daerah lain di Jawa dan Madura tanpa izin dari pemerintah daerah yang bersangkutan.
Demikian juga membawa uang dari luar masuk ke Pulau Jawa dan Madura lebih dari 5000 Rupiah (uang Jepang) tanpa izin Menteri Perdagangan dan Perindustrian.
Dengan larangan tersebut, pemerintah berusaha mencegah "penyerbuan" uang ke daerah Republik.
Selanjutnya pada tanggal 15 Juli 1946 di Jawa dan Madura seluruh uang Jepang dan uang Hindia Belanda yang ada di tangan masyarakat, perusahaan-perusahaan dan badan-badan lain harus harus disimpan pada bank-bank yang ditunjuk, yaitu: Bank Negara Indonesia, Bank Rakyat Indonesia, Bank Surakarta, Bank Nasional, Bank Tabungan Pos dan Rumah Gadai. Yang tidak wajib disimpan adalah sejumlah 50 Rupiah (uang jepang) bagi setiap penduduk, yang diperlukan untuk melanjutkan usahanya atau untuk kepentingan sehari-hari.
Uang Hindia Belanda atau Uang De Javasche Bank harus disimpan seluruhnya di bank.
Tim yang bertugas mencetak ORI telah bekerja dengan semangat dan keberanian serta sadar akan tanggung jawab yang dipikul. Tempat-tempat pencetakan  dijaga ketat oleh keamanan negara.
Hasil cetakan ORI dikirim ke seluruh Jawa dan Madura dalam gerbong-gerbong kereta api dengan pengawalan ketat, agar tidak dirampok di tengah jalan, suatu hal yang mudah saja terjadi, karena ORI hanya dibungkus secara darurat dengan keranjang-keranjang bekas.

Sehubungan dengan Keputusan Pemerintah, agar beredarnya ORI dilaksanakan serentak pada hari dan waktu yang sama di seluruh pulau Jawa dan Madura, maka dikirimkanlah surat edaran rahasia kepada pejabat daerah dan Kas Negara. Pada waktu yang telah ditentukan, sampul surat dibuka dan dimulailah ORI diedarkan pada saat yang sama di seluruh pulau Jawa dan Madura.
Keluarnya ORI didahului oleh pidato Wakil Presiden Moh. Hatta di muka corong Radio Republik Indonesia pada tanggal 29 Oktober 1946:
"Besok tanggal 30 Oktober 1946 soeatoe hari jang mengandoeng sedjarah bagi tanah air kita. Rakjat kita menghadapi penghidoepan baroe. Besok moelai beredar oeang Repoeblik Indonesia sebagai satoe-satoenja alat pembajaran jang sah. Moelai poekoel 12 tengah malam nanti, oeang Djepang jang selama ini beredar sebagai oeang jang sah tidak lakoe lagi. Beserta dengan oeang Djepang itoe ikoet poela tidak lakoe oeang Javasche Bank. Dengan ini toetoeplah soeatoe masa dalam sedjarah keoeangan Repoeblik Indonesia. Masa jang penoeh dengan penderitaan dan kesoekaran bagi rakjat kita!
Sedjak Moelai besok kita akan berbelandja dengan oeang kita sendiri, oeang jang dikeloearkan oleh Repoeblik kita. Oeang Repoeblik keloear dengan membawa perobahan nasib bagi rakjat. istimewa pegawai negeri , jang sekian lama menderita karena inflasi oeang Djepang. Roepiah Repoeblik jang harganja di Djawa lima poeloeh kali oeang Djepang, di Soematera seratoes kali, menimboelkan sekaligoes tenaga pembeli kepada golongan rakjat jang bergadji tetap, jang selama ini hidoep daripada menjoeal pakaian dan perabot roemah, dan djoega kepada rakjat jang menghasilkan, jang penghargaan toekar barang penghasilannja djadi tambah besar.
____
ORI juga memasuki daerah yang diduduki oleh Belanda, di mana uang NICA berlaku sebagai alat pembayaran yang sah. Perbandingan nilai kedua mata uang sudah tentu sangat dipengaruhi oleh pertimbangan spekulatif. Perbandingan nilai antara ORI dengan uang NICA di kota Jakarta pada hari-hari pertama menunjukkan angka 1 (ORI):5 (uang NICA), malah sampai 1:7, tetapi tidak lama kemudian turun menjadi 1:3 dan 1:2.
H. Rosihan Anwar menulis pengalamannya saat ORI masuk pertama kali di Jakarta:
"suatu hal lain yang menggetarkan masyarakat Jakarta ialah keluarnya Uang Republik atau ORI (Oeang Repoeblik Indonesia) atau dalam bahasa sehari-hari disebut "Uang Putih", untuk diedarkan dengan "Uang merah" yakni uang NICA-Belanda.
Pada tanggal 24 Oktober diumumkan dalam pers Undang_undang tentang pengeluaran Uang Republik di Indonesia. Enam hari kemudian surat kabar "Rakyat" memuat berita dengan judul "Uang kita menang, kata rakyat Jakarta."
Dalam berita itu diceritakan tentang seorang tukang becak yang memilih pembayaran 20 sen uang kita daripada pembayaran dengan uang NICA satu rupiah. Selanjutnya harga ayam di pasar Tanah Abang pada hari ini (30 Oktober) hanya 50 sen uang kita, sedangkan jika memakai uang NICA harus membayar 10 rupiah."
____
Di samping itu, beredarnya ORI bersamaan dengan uang NICA telah menimbulkan kesulitan bagi penduduk, khususnya di daerah perbatasan antara daerah yang dikuasai oleh Republik dan daerah yang diduduki NICA. Penduduk takut diketahui memiliki ORI oleh tentara NICA dan sebaliknya takut pula memiliki uang NICA bila didekati oleh pasukan Republik. Berhubung dengan berlangsungnya perundingan-perundingan yang kemudian berakhir dengan persetujuan Linggarjati, maka sejak 19 November 1946 ada suatu perjanjian antara kedua belah pihak yang menghendaki agar penduduk jangan dinganggu jika diketahui memiliki uang lawan.
Pencetakan ORI di Kendalpayak yang berjalan lancar mendadak harus dihentikan sehubungan dengan terjadinya Agresi Militer Belanda pada 21 Juli 1948. Mesin-mesin dan bahan-bahan harus diangkut ke daerah yang lebih terpencil lagi. Akhirnya di desa-desa di Ponorogo dan Madiun pencetakan kembali diteruskan hingga terjadinya Agresi yang kedua pada bulan Desember 1948.

Pengeluaran ORI oleh pemerintah terhenti sesudah Yogyakarta diduduki oleh tentara Belanda dengan aksi militernya yang kedua pada tanggal 19 Desember 1948. Selama Yogyakarta dikuasai Belanda, ORI masih beredar bersama-sama dengan uang NICA. Semua pengeluaran penguasa, seperti gaji pegawai, dan karyawan dilakukan dengan uang NICA. Adapun pegawai Republik Indonesia yang setia dapat mempertahankan diri berkat pembagian sekedar uang logam Hindia Belanda yang dilakukan secara rahasia oleh panitia setempat.
Untuk menghilangkan keragu-raguan di sementara kalangan masyarakat terhadap berlakunya ORI, maka Menteri Negara Koordinator Keamanan, Sultan Hamengkubuwono IX, dengan pengumuman No I/11 tanggal 1 Juli 1949 menetapkan bahwa ORI tetap merupakan alat pembayaran yang sah  di samping "uang yang telah beredar karena pendudukan". Dengan demikian kedua jenis mata uang tersebut untuk sementara beredar di daerah Istimewa Yogyakarta. Antara ORI dan uang NICA tidak ditetapkan perbandingan (kurs) tetentu.
Setelah pemerintahan Republik Indonesi kembali ke Yogyakarta dalam bulan Juli 1949 dihadapi masalah baru yaitu persediaan ORI yang dapat dikuasai hanya cukup untuk beberapa bulan saja, sedangkan sumbernya (alat-alat pencetak) sebagai aksi militer kedua, sudah tidak dapat digunakan. Maka setelah beberapa bulan pembiayaan pengeluaran terpaksa dilakukan dengan uang NICA yang diterima dari Pemerintah Federal Sementara hingga berdirinya Republik Indonesia Serikat (RIS) pada Desember 1949.

Disarikan dari buku: 
Sejarah Kebijakan Moneter Indonesia Jilid I (1945-1948); Drs. Oey Beng To, terbitan Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia Jakarta 1991
Foto: dari berbagai sumber

Senin, 27 Agustus 2012

Saneering, 24 Agustus 1959

Dalam memori bangsa Indonesia tercetak beberapa peristiwa moneter yang bisa dikatakan penting dan, mmm..cukup mencengangkan. Salah satunya adalah kebijakan pemerintah untuk mengebiri nilai uang. fenomena moneter ini kemudian dikenal dengan istilah saneering, didasarkan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2/1959. Menetapkan penurunan nilai mata uang kertas seri hewan emisi 1957 dari pecahan bernilai 500 Rupiah bergambar harimau dan 1000 rupiah bergambar gajah, menjadi tinggal 10 persen saja dari nilai semula. Pecahan yang bernilai di bawah 500 dan 1000 tetap berlaku dengan nilai yang sama, sedangkan deposito di atas 25.000 rupiah dibekukan dan diganti dengan obligasi negara. Rupiah kemudian didevaluasikan terhadap dollar Amerika dari 1:11,4 menjadi 1:45.
Kabinet Kerja I yang dipimpin langsung Presiden Soekarno dengan Menteri Pertama  Ir. Djuanda Kartawidjaja dalam memori penjelasan mengungkapkan pengambilan kebijakan ini untuk  mengurangi volume uang yang beredar dan mencegah perdagangan gelap yang merugikan negara.
Kebijakan ini berselang sembilan tahun setelah diterapkannya Gunting Sjafrudin pada tahun 1950, salah satu usaha pemerintah dalam menyedot jumlah mata uang yang beredar  melebihi ambang batas. Tak urung masyarakat kembali dihantam oleh berbagai masalah ekonomi yang membuntuti sebagai dampak diterapkannya pengebirian uang. Sebenarnya kebijakan ini ditujukan terutama kepada kaum spekulan dan pemegang "uang panas". Tapi kenyataannya hampir seluruh masyarakat terkena. Sebab umumnya orang segan memegang pecahan limapuluh dan seratus atau lebih kecil lagi.


Teks: Wiwit Jawi Indah (dari berbagai sumber)
Foto: Repro Banknotes and Coins from Indonesia 1945-1990

Senin, 06 Agustus 2012

Koleksi Arsip dan Buku

Museum Bank Rakyat Indonesia memiliki sebuah perpustakaan yang turut melengkapi koleksi Buku dan Dokumen Museum. Sebagian koleksi buku yang tersimpan adalah buku-buku terbitan masa Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Di antaranya terdapat Volkscredietwetzen (tahun terbitan 1931 sampai 1941), Compedium van Dienstvoorschriften der Algemeene Volkscredietbank, Blaadje voor het Volkscredietwezen, Fragmenten van Indisch Privaatrecht dan lain sebagainya. Sebagian besar terbitan tersebut terbit pada tahun 1920 hingga 1940 an.


Arsip-arsip berharga Bank Rakyat Indonesia juga menjadi bagian dari koleksi dokumen Museum, di antaranya adalah salinan akta-akta pendirian Bank. Akta pertama adalah Staatsblad van Nederlandsche Indie No 205 tertanggal 11 Agustus 1897 disahkan di Bogor pada masa kekuasaan Gubernur Jenderal Van der Wijk. Akta ini menandai disahkannya Poerwokertosche Hulp Spaar en Landbouwcredietbank oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Kemudian terus muncul Akta-Akta baru seiring digantikannya keputusan-keputusan lama negara.

Buku koleksi juga mencakup bermacam terbitan berkala yang dikeluarkan oleh Volkscredietbank serta Verslag atau Buku Laporan dari beberapa Volksbank di daerah kekuasaan Hindia Belanda.

Menilik sejarah Bank Rakyat Indonesia tak dapat meninggalkan sejarah Banyumas, sebagai tanah tempat berpijak pertama kali. Babad Banyumas dan Uittreksel uit de Babad Banjumas adalah naskah-naskah yang dapat menceritakan sejarah yang pernah terjadi di Banyumas.
 


Teks: Wiwit Jawi Indah
Foto: Wiwit Jawi Indah

Senin, 07 Mei 2012

Lokakarya Guru Museum BRI


"Hari ini kita jatuh cinta" itulah kata pembuka yang dilontarkan oleh moderator Lokakarya Guru yang diadakan oleh Museum BRI.
Dan inilah cerita tentang kencan pertama kami yang kami adakan untuk merayakan hari pendidikan nasional dan museum sedunia :) 
Kami, museum dan sekolah. dan kita, :)
Lokakarya Guru Kabupaten Banyumas

Kamis 3 Mei 2012 Museum BRI mengadakan Lokakarya Guru Kabupaten Banyumas dengan tajuk "Museum BRI sebagai Wahana Pendidikan". Sesuai dengan tema yang dibawakan, program edukasi yang diselenggarakan Museum BRI dengan melibatkan kalangan akademisi dan Dinas Pendidikan ini berupaya menggandeng sekolah-sekolah agar berperan aktif memanfaatkan Museum BRI sebagai sarana pembelajaran.
Sharing bersama narasumber: Ki-Ka: Apenk Sunarto, M. Pd. dan Dra. D.S. Nugrahani

Sebagai Narasumber hadir Dosen Jurusan Arkeologi UGM Dra. D.S. Ania Nugrahani dan R Apenk Sunarto, M. Pd. selaku Kepala Bidang Pendidikan Menengah Dinas Pendidikan Kabupaten Banyumas. Sharing informasi dan pengetahuan oleh narasumber diharapkan dapat menggelitik gagasan-gagasan baru para pengajar berkaitan dengan pemanfaatan museum sebagai sarana pembelajaran.

seminar
tanya jawab bersama narasumber

Seminar dan diskusi yang dipandu oleh moderator dari penggiat pendidikan dan lingkungan Ignasius Kendal menjaring berbagai masukan-masukan yang dilontarkan oleh peserta. untuk lebih memicu ide dan gagasan yang lebih konkret peserta yang terdiri dari 23 Guru wakil 15 sekolah melanjutkan dengan kunjungan ke Museum BRI. 
kunjungan ke Museum BRI

Gagasan-gagasan kreatif tersebut kemudian dituangkan ke dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) sekolah sesuai dengan tingkatannya. 

diskusi kelompok menyusun RPP
menjaring potensi Museum BRI

Konsep RPP yang menjadi buah pemikiran lokakarya inilah yang akan menjadi titik tolak membangun sinergi antara Sekolah dan Museum ,yang mana keduanya merupakan institusi pelayanan pendidikan. 

presentasi RPP

Diharapkan untuk ke depannya Museum menjadi tempat jujugan siswa untuk menggali kreatifitas dan inspirasi yang mampu membangun karakter dan motivasi menjadi manusia yang lebih berbudaya dan tentu saja, cinta tanah air :)

 Selamat hari Pendidikan dan  
Hari Museum Sedunia :)
"Museums in a Changing World. 
New Challenges, New Inspirations". 


Teks: Wiwit Jawi Indah
Foto: Nurul Faizah

Minggu, 08 April 2012

Sahabat Museum BRI

holaaa,
apa kabar teman-teman?
Museum BRI membuka rekruitmen volunteer untuk bergabung sebagai Sahabat Museum BRI
kalau kamu :

  • mahasiswa
  • tertarik mencari pengalaman baru
  • menyukai dunia pendidikan
  • menaruh minat pada sejarah dan budaya
gabung yuuuuuuk :)

kirimkan biodatamu ke:
museumbri@gmail.com
cc wiwitjawi@gmail.com
CP: 085729581316 (wiwit)

Senin, 19 Maret 2012

19 Maret 1950: Gunting Sjafruddin

Salah satu fenomena moneter yang paling terkenal pada masa mempertahankan kemerdekaan adalah "Gunting Sjafruddin". Secara harfiah memang dilakukan pemotongan uang menjadi dua bagian. Dari pecahan bernilai 5 Rupiah (Gulden) ke atas. Bagian kiri tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah dengan nilai separuhnya sampai tanggal 9 April 1950 jam 18.00. Guntingan sebelah kanan dapat ditukar dengan obligasi negara 3% per tahun dan akan dibayar dalam jangka 43 tahun.Sedangkan Deposito di Bank memiliki nasib yang sama dengan bagian kanan uang yang tergunting.
Uang de Javasche Bank dan uang NICA yang digunting

Keputusan yang tercantum dalam Keputusan Menteri Keuangan RIS, Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Nomor PU-1 dan PU-2. Peraturan tersebut ditujukan untuk uang kertas de Javasche Bank dan uang NICA. Tujuannya adalah menyedot jumlah uang yang beredar terlalu banyak, menghimpun dana pembangunan, dan menekan defisit anggaran belanja.
bagian kanan
bagian kiri

Polemik pun mewabah terutama menyangkut masalah kerahasiaan keputusan dan penentuan hari H yang jatuh pada tanggung bulan yaitu tanggal 19 Maret, pada saat orang cukup memegang uang dan buruh mingguan baru mendapat upah minggu keduanya.   

Teks: ditulis kembali berdasarkan Banknotes and Coins from Indonesia 1945-1990 
Foto:  Banknotes and Coins from Indonesia 1945-1990                                          

Kamis, 15 Maret 2012

Koleksi: Artefak dan Mesin

arca Kuwera


Untuk menggambarkan bagaimana pekerjaan-pekerjaan di bank dilakukan, Museum BRI menampilkan koleksi berupa mesin-mesin dan artefak lainnya, seperti peralatan serta lukisan-lukisan.
tempat tinta

Beberapa lukisan dipamerkan adalah lukisan bertema aktivitas Raden Aria Wirjaatmadja. Oleh karena jabatannya Raden Aria memiliki beberapa tugas yang ternyata dapat dimanfaatkan untuk mendukung keberadaan Hulp en Spaarbank der Inlandsche Bestuures Ambtenaren di tengah kaum Pribumi.

Pada masa awal-awal, pegawai bank bekerja dengan alat-alat yang masih sangat sederhana sekali seperti pena dan kertas. Namun mereka juga dibantu dengan alat-alat yang membuat pekerjaan mereka lebih mudah seperti alat hitung misalnya. Alat hitung yang sederhana seperti sebuah swimpoa dan lama kelamaan berkembang menjadi semakin kompleks. muncul alat hitung atau kita kenal dengan kalkulator. 
serta alat tulis typewriter, atau mesin ketik.
mesin hitung PLUSS 1930

Alat hitung lain yang lebih kompleks adalah NCR. NCR kependekan dari National Cash Register merupakan alat yang dipakai untuk menghitung uang masuk dan keluar (atau mesin kasir) juga umum digunakan sebagai alat bantu pekerjaan-pekerjaan di bank. 
mesin hitung ADDO.X 1960


Nama NCR sebenarnya bukanlah mengacu jenis mesin, namun merk mesin itu sendiri. Pada kalangan pegawai, mereka seringkali menamakan alat-alat  sesuai dengan merk alat tersebut. seperti NCR, Burrough, Facit, dll.

NCR (National Cash Register) 1928

Alat-alat penyimpan uang ternyata sudah dikenal dari masa lampau. Bentuk yang sederhana adalah tempat penyimpan uang yang sering disebut celengan. Koleksi celengan tertua adalah celengan dari masa Kerajaan Majapahit. 
celengan dari masa Kerajaan Majapahit


Celengan-celengan ini terbuat dari tanah liat dan berbentuk aneka satwa, kendi serta bentuk lainnya. 
celengan tradisional
Sampai sekarang celengan masih sangat umum dikenal apalagi oleh kalangan anak-anak. Celengan merupakan salah-satu alat belajar, dimana anak-anak dididik untuk pandai menyimpan uangnya dan berhemat. Oleh karena itu seringkali celengan dibuat dengan bentuk dan warna yang menarik bagi anak-anak.
Tempat penyimpan uang sangat variatif bentuk dan ukurannya. dari celengan yang tradisional hingga Brankast,  yang dipenuhi kode-kode dan lubang kunci. 

Teks: Wiwit Jawi Indah
Foto: Wiwit Jawi Indah

Rabu, 07 Maret 2012

NICA, Money Issue

NICA, Money Issue

Pada tanggal 29 September 1945, pasukan Sekutu mendarat di pelabuhan Tanjung Priok Jakarta dalam rangka pelucutan senjata dan pemulangan tentara Jepang. Letjen Sir Montague Stopford, Panglima AFNEI ( Allied Forces Netherlands Indie), pada tanggal 6 Maret 1946 melarang anggotanya menerima uang Jepang. Sebagai gantinya dikeluarkan uang NICA (Netherlands Indische Civil Administration). Uang NICA tersebut dicetak di Australia pada tahun 1943 dan bergambar Ratu Wilhemina, dan atas perintah tentara pendudukan Sekutu menjadi alat pembayaran yang sah bagi semua pihak yang bertikai pada saat itu. 
Kurs penukaran uang NICA ditetapkan 3% terhadap uang Jepang. Berarti satu rupiah uang Jepang dinilai sama dengan tiga sen uang NICA. Hal ini menyulut protes dari pihak Republik, oleh Perdana Menteri Sutan Syahrir disebut sebagai tindakan pelanggaran kedaulatan RI dan mengingkari perjanjian untuk tidak mengeluarkan mata uang baru selama situasi politik belum stabil.
Dengan diberlakukannya uang NICA di daerah pendudukan, mulai menimbulkan kesulitan terutama bagi mereka yang berdiam di daerah pendudukan (seperti, Jakarta, Bogor, Bandung, Surabaya, semarang, serta sebagian Sumatera dan Palembang). Daerah pendudukan terpisah dari daerah produksi barang keperluan sehari-hari. Orang-orang yang bekerja di daerah pendudukan menerima upah dan gaji dalam bentuk uang NICA padahal para pedagang dan petani hanya mau menerima uang Jepang yang merupakan uang sah di Republik Indonesia, sebagaimana dianjurkan oleh pemerintah RI.
Keterbatasan dan ketidakwibawaan uang NICA itu berakibat merosotnya kurs. Dari tiga persen menjadi empat bahkan lima persen. Sementara harga barang-barang keperluan hidup terus membubung, sebab uang Jepang semakin banyak tersedot ke daerah produksi di pedalaman. Sedang di sana juga terjadi inflasi, di samping barang-barang sulit didistribusikan dari daerah itu.Seabaliknya, penduduk pedalaman kesulitan ketika harus memenuhi barang konsumsi seperti pakaian, obat, gula dan lain sebagainya yang hanya dijual di kota dan hanya dapat dibeli dengan uang NICA.
Untuk mematahkan dominasi uang NICA yang semakin menyebar, Pemerintah RI mencetak dan mengedarkan ORI (Oeang Republik Indonesia) pada tanggal 30 Oktober 1946 untuk menggantikan uang pendudukan Jepang. ORI selain secara politis ditujukan untuk menunjukkan kedaulatan Republik, juga untuk menyehatkan ekonomi yang dilanda inflasi hebat.
Pertarungan kewibawaan dua mata uang dari dua pihak tersebut memaksa setiap orang harus memilih. Menolak atau menerima uang NICA atau uang ORI. tak jarang terjadi insiden penganiayaan terhadap mereka yang tidak mau menerima uang NICA.


Menurut pakar Amerika George Mc. Kahin dalam bukunya pada tahun 1948-1950, menulis efek Serangan Umum 1 Maret 1949 atas kota Yogyakarta terhadap nilai tukar ORI dengan uang NICA.Menurut Kahin, ORI sederhana buatannya bergambar presiden Soekarno terlihat lebih mampu membangkitkan kekuatan yang besar, jauh melebihi perkiraan yang dapat dibayangkan oleh militer Belanda.


Teks: Dikutip dari Nagara Dana Raksa (Album Peringatan Oeang Republik Indonesia)
Foto: Koleksi Museum BRI

Rabu, 22 Februari 2012

22 Februari 1946: Gerakan Nasionalisasi

Dari Syomin Ginko ke BRI

Setelah kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, orang-orang Jepang yang memimpin Syomin Ginko dianjurkan agar mengundang para pimpinan kantor cabang Syomin Ginko ke Jakarta untuk merundingkan peralihan yang sedang berlangsung. Namun, para pemimpin Jepang tidak dapat mengabulkan anjuran tersebut dengan alasan untuk menjaga status quo di Indonesia hingga sekutu mendarat dan mengambil alih kekuasaan di Indonesia.
perundingan tersebut melibatkan tokoh "Pemimpin Empat" mereka adalah: M. Harsoadi, M. Soegijono Tjokrowirono, R. Ng. Ismail dan TB. Sabarudin. 
M. Harsoadi  (Presiden Direktur pertama BRI: 1946-1953)
(Koleksi Museum BRI)

Keputusan pihak Jepang tersebut tidak dapat diterima oleh beberapa tokoh (Soemantri, Parmin Martokoesoemo, dan Soedarto Dirdjoatmodjo). Maka kemudian mereka menghadap Komite Nasional Indonesia (KNI) untuk membahas masalah yang sama. Hasil Konsolidasi tersebut membuat BRI dikuasai oleh tenaga-tenaga Indonesia secara de facto pada Oktober 1945. Direksi pertama BRI adalah: M. Harsoadi ( presiden direktur), M. Soegijono Tjokrowirono (direktur), dan M. Soemantri (direktur merangkap sekretaris). Kantor pertama BRI adalah Gedung Escompto. Namun, gedung ini hanya sebentar digunakan sebagai kantor BRI (Syomin Ginko, de facto BRI). Dan seterusnya BRI terpaksa berpindah-pindah kantor karena keadaan politik yang tidak menentu. Pada tanggal 4 Januari 1946  menyusul berpindahnya ibukota dari Jakarta ke Yogyakarta, BRI juga ikut pindah, sebagian ke Yogyakarta mengikuti kementrian induknya dan sebagian ke Purwokerto.
Akhirnya pada tanggal 22 Februari 1946 Syomin Ginko secara resmi berganti menjadi Bank Rakjat Indonesia (BRI). Keputusan ini dituangkan dalam Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1946. Pada pasal 1 PP ini disebutkan bahwa BRI adalah Bank Pemerintah yang dulu berturut turut bernama Algemene Volkscredietbank dan Syomin Ginko. Selanjutnya dalam pasal 2 disebutkan bahwa wilayah kerja BRI adalah seluruh Indonesia. Dengan demikian secara de facto maupun de jure BRI menjadi bank pemerintah pertama sebagai pelengkap negara Republik Indonesia.
Pada tahun 1946, BRI menjadi satu-satunya bank pemerintah RI. Hal ini berlangsung sampai terbentuknya Bank Negara Indonesia pada tanggal 5 Juli 1946. Oleh karena itu usaha perkreditannya pun ditujukan untuk melayani segala kebutuhan kredit, terutama kredit pemerintah sendiri.
Kondisi keuangan BRI pada masa permulaan kemerdekaan sebenarnya relatif baik.Di samping membantu pemerintah dalam masa perjuangan, BRI juga melayani masyrakat baik yang berpenghasilan tetap, masyarakat pedesaan serta pengusaha menengah dan nasional meskipun dengan pelayanan yang masih sederhana.
Kemampuan melayani kredit itu dimungkinkan karena BRI diijinkan mempergunakan sebagian dari Hasil Pinjaman Nasional 1946. Pada masa-masa ini BRI juga berperan penting dalam proses penggantian uang Jepang ke ORI (Oeang Republik Indonesia) dengan melibatkan kantor-kantor cabangnya.
Warkat Pinjaman Nasional 1946 yang dikeluarkan oleh pemerintah RI
(Koleksi Museum BRI)

Masalah yang timbul dari situasi keamanan dan politik bagi perkembangan BRI sebagai bank baru pada masa awal operasinya tidak berhenti sampai pada masalah kehadiran NICA. Masalah menjadi lebih berat lagi ketika terjadi Agresi Militer Belanda pada tahun 1947. Agresi ini memungkinkan Belanda kembali menguasai hampir seluruh wilayah Indonesia sehingga wilayah RI tinggal hanya di pedalaman Jawa dan Sumatera. Pembagian wilayah seperti yang tercantum dari perjanjian Renville sangat mengganggu kelancaran operasional BRI, karena wilayah kerja yang semakin sempit, semula 68 cabang menjadi hanya 29 cabang yang dipimpin oleh Kantor Besar di Yogyakarta.
Situasi saat terjadinya Agresi Militer Belanda I
( Koleksi Museum BRI (repro))

Masalah lebih rumit timbul ketika dioperasikannya kembali AVB (Algemene Volscredietbank) oleh pemerintah NICA. Selain tidak mengakui keberadaan BRI pemerintah NICA juga menuntut agar BRI dilebur ke dalam AVB. Situasi menjadi semakin berat ketika terjadi kembali Agresi yang kedua pada tahun 1948. BRI yang berada di daerah RI oleh NICA dikembalikan menjadi AVB. Para direksi BRI serta kepala bagian ditangkap atas tuduhan penggelapan uang BRI untuk membantu para pejuang kemerdekaan. kondisi tersebut menyebabkan kegiatan operasional BRI terhenti selama kurang lebih satu tahun, sampai Perjanjian Roem Royen disepakati pada tanggal 7 Mei 1949.
Bank Rakjat Indonesia
(Koleksi Museum BRI)

Teks ditulis kembali berdasarkan: "SERATUS TAHUN BANK RAKYAT INDONESIA", Jakarta: Humas Bank Rakyat Indonesia, 1995.
Foto: Koleksi Museum Bank Rakyat Indonesia

Minggu, 19 Februari 2012

KOIN

Koleksi numismatik Museum BRI mencakup koin dari masa Majapahit, koin kepeng, koin VOC, koin pada masa Hindia Belanda, dan koin RI sampai tahun 1971.

Pada masa periode Hindu Budha di Indonesia telah dikenal alat tukar antara lain berupa uang koin. Pada masa Majapahit (1293 M-1522 M) dikenal berbagai macam uang logam yang digunakan sebagai alat tukar yang sah. Di antaranya adalah uang lokal dan uang dari wilayah lain (mata uang asing). Termasuk mata uang lokal adalah uang perak, emas, dan uang dari campuran perak, timah, dan tembaga (atau uang perunggu). Ukuran mata uang yang digunakan pada masa ini antara lain su (suwarna), ma (masa), ku (kupang). Umumnya singkatan dari ukuran ini diterakan ke permukaan uang untuk menandai besarnya nilai.
Gobog Majapahit (Abad 15 M-16 M)

Pada abad yang sama selain uang lokal dari kerajaan-kerajaan di Nusantara ternyata mata uang asing juga diterima sebagai alat tukar oleh penduduk setempat. contohnya adalah uang dari Cina yang disebut uang Kepeng. Uang Kepeng Cina telah digunakan mulai masa Majapahit awal, uang tersebut berasal dari dinasti T'ang, Song, Ming, dan Qing.
Kepeng Cina

Memasuki awal masa kolonial pada abad 17 M, VOC (Vereninge Oost Indische Compagnie) memperkenalkan mata uang logam yang mereka terbitkan. di antaranya dikenal dengan nama Stuiver, Doit, dan Silver Ryder (Dukaton/dukat). Koin-koin VOC tersebut dicetak di Belanda untuk kemudian diedarkan di daerah-daerah monopoli VOC. Pencetak dan pengesah mata uang logam ini adalah para pemegang saham VOC yang dikenal dengan nama "Heeren XVII" atau the Seventeen Gentleman di Amsterdam.
Doit VOC

VOC bertahan selama 197 tahun hingga pada tahun 1799 mengalami masa kebangkrutan. Hingga pada akhirnya Kerajaan Belanda langsung mengambil alih kekuasaan di Hindia Belanda. Selama masa pendudukan ini bukan berarti Belanda memerintah terus menerus, namun juga terjadi masa interval, dimana Belanda harus menyerahkan kekuasaannya. Pertama kepada Perancis (1806-1811) dan kedua kepada Inggris (1811-1816).
"Benggol" (2 1/2 cent) Nederlandsch Indie

Masa kolonial Hindia Belanda dapat dibagi dalam empat masa pemerintahan, masa Raja Willem I (1815-1840), Raja Willem II (1840-1849), Raja Willem III (1849-1890), dan masa Ratu Wilhemina (1890-1948). Pada masa kependudukan yang panjang ini banyak jenis koin yang beredar dan berganti-ganti. Koin-koin pada masa ini umum dibuat dari perak dan tembaga. 
Munt van het Koningrijk Der Nederlanden (1872)

Koleksi koin dari masa NKRI sendiri dimulai dari tahun 1951 hingga 1978. Koin-koin tersebut dibuat dari alumunium dan kupronikel. Selain koleksi uang resmi yang beredar, terdapat juga koleksi mata uang khusus peringatan yang jumlah dan peredarannya terbatas. Koin inilah yang disebut dengan komerativ koin yang juga dicetak oleh BI.
Republik Indonesia (BI 1971)

Teks: Wiwit Jawi Indah
Foto: Wiwit Jawi Indah 

Usaha merakyatkan Bank: Algemene Volkscredietbank, 19 Februari 1934

Algemene Volkskredietbank (AVB). Membicarakan keberadaan AVB tidak terlepas dari sejarah Volksbank. Sedang membicarakan Volksbank maka kita harus berkenalan dengan seorang tokoh bernama W.P.D. de Wolf. De Wolf sendiri adalah Asisten Residen Banyumas yang menggantikan E. Sieburgh pada tahun 1897. Rupa-rupanya de Wolf adalah Asisten Residen yang juga cakap dalam pengelolaan perbankan.De Wolf kemudian menerapkan pengetahuannya tentang pengelolaan bank-bank petani di Jerman pada bank "Priyayi". Maka Hulp en Spaabank der Inlandsche Bestuurs Ambtenaren  mulai mengalami pembenahan di sana sini. Antara lain de Wolf mengusahakan suatu badan hukum bank, dan yang terpenting adalah memperluas kebijakan penyaluran kredit. Bank ini diproyeksikan menjadi sentral dari bank-bank koperasi di pedesaan mencontoh bank-bank petani di Jerman. Pembenahan ini membuat bantuan kredit dapat dijangkau oleh kalangan rakyat luas, tidak hanya oleh kalangan pegawai pangreh praja saja. Sejalan dengan reorganisasi tersebut Hulp en Spaabank der Inlandsche Bestuurs Ambtenaren berganti nama menjadi Poewokertosche Hulp, Spaar an Landbouw Credietbank (Bank Bantuan Simpanan dan Kredit Usaha Tani Purwokerto). Dan nama yang terakhir inilah yang kemudian dikenal secara luas dengan sebutan Volksbank atau Bank Rakyat.

Usaha merakyatkan Bank yang dilakukan oleh de Wolf turut pula membawa angin perubahan di afdeling-afdeling (kabupaten) lain di luar Banyumas. Beberapa daerah dengan Asisten Residen atau Bupati mendirikan bank-bank serupa. Pendirian bank-bank tersebut kemudian diikuti dengan terbentuknya lumbung-lumbung desa.
Seiring dengan perkembangannya, 15 tahun kemudian, pada tahun 1912 pemerintah Hindia Belanda mendirikan Centrale Kas Voor het Volkscredietwezen. Tertulis dalam Keputusan Raja Belanda No 118 Staatblad 1912 No 392 , pada pasal 2 disebutkan bahwa Centrale Kas bertujuan: menyediakan dana usaha dan memberikan bantuan dalam pengelolaan (pembinaan dan pengawasan) kepada badan-badan kredit rakyat, serta menerima simpanan dana dari badan-badan kredit rakyat tersebut.

Namun pada perkembangannya Centrale Kas menjadi bumerang bagi Bank-bank lokal yang seharusnya dilindunginya. Akibatnya kondisi Volksbank menjadi memprihatinkan akibat campur tangan Centrale kas di bidang manajemen dan terjadi penggelapan uang yang dilakukan oleh para administratur. Maka untuk mengatasi masalah tersebut pada tahun 1934 atas usul Mr. Th. A. Fruin dibentuklah AVB (Algemene Volkscredietbank). AVB dibentuk sebagai wadah mempersatukan bank-bank lokal guna menghindari kesulitan finansial, yang mengakibatkan kebangkrutan.
Secara resmi AVB didirikan sebagai badan hukum Eropa dengan ordonansi tanggal 19 Februari 1934 dan dituangkan dalam Staabsblad No 82 tentang Bepalingen betreffende de Algemene Volkscredietbank.

Catatan-catatan yang ada sepanjang 1934-1940 memperlihatkan peran AVB sangat luas mencakup pemberian pinjaman untuk pembebasan penduduk desa dari ikatan hutang riba, sebagai contoh adalah pinjaman gangsur (gangsur berarti hubungan hutang piutang yang berangsur-angsur meningkat dan akhirnya menumpuk). Catatan-catatan semacam ini dituangkan dalam majalah Volkscredietwezen.
Bertahun-tahun kemudian AVB masih terus berjalan dan berkembang hingga pada masa kedatangan militer Jepang untuk mengambil alih kekuasaan di Hindia Belanda pada tahun 1942.

AVB (1934-1942)


Teks: Wiwit Jawi Indah
Foto: Wiwit Jawi Indah