Rabu, 22 Februari 2012

22 Februari 1946: Gerakan Nasionalisasi

Dari Syomin Ginko ke BRI

Setelah kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, orang-orang Jepang yang memimpin Syomin Ginko dianjurkan agar mengundang para pimpinan kantor cabang Syomin Ginko ke Jakarta untuk merundingkan peralihan yang sedang berlangsung. Namun, para pemimpin Jepang tidak dapat mengabulkan anjuran tersebut dengan alasan untuk menjaga status quo di Indonesia hingga sekutu mendarat dan mengambil alih kekuasaan di Indonesia.
perundingan tersebut melibatkan tokoh "Pemimpin Empat" mereka adalah: M. Harsoadi, M. Soegijono Tjokrowirono, R. Ng. Ismail dan TB. Sabarudin. 
M. Harsoadi  (Presiden Direktur pertama BRI: 1946-1953)
(Koleksi Museum BRI)

Keputusan pihak Jepang tersebut tidak dapat diterima oleh beberapa tokoh (Soemantri, Parmin Martokoesoemo, dan Soedarto Dirdjoatmodjo). Maka kemudian mereka menghadap Komite Nasional Indonesia (KNI) untuk membahas masalah yang sama. Hasil Konsolidasi tersebut membuat BRI dikuasai oleh tenaga-tenaga Indonesia secara de facto pada Oktober 1945. Direksi pertama BRI adalah: M. Harsoadi ( presiden direktur), M. Soegijono Tjokrowirono (direktur), dan M. Soemantri (direktur merangkap sekretaris). Kantor pertama BRI adalah Gedung Escompto. Namun, gedung ini hanya sebentar digunakan sebagai kantor BRI (Syomin Ginko, de facto BRI). Dan seterusnya BRI terpaksa berpindah-pindah kantor karena keadaan politik yang tidak menentu. Pada tanggal 4 Januari 1946  menyusul berpindahnya ibukota dari Jakarta ke Yogyakarta, BRI juga ikut pindah, sebagian ke Yogyakarta mengikuti kementrian induknya dan sebagian ke Purwokerto.
Akhirnya pada tanggal 22 Februari 1946 Syomin Ginko secara resmi berganti menjadi Bank Rakjat Indonesia (BRI). Keputusan ini dituangkan dalam Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1946. Pada pasal 1 PP ini disebutkan bahwa BRI adalah Bank Pemerintah yang dulu berturut turut bernama Algemene Volkscredietbank dan Syomin Ginko. Selanjutnya dalam pasal 2 disebutkan bahwa wilayah kerja BRI adalah seluruh Indonesia. Dengan demikian secara de facto maupun de jure BRI menjadi bank pemerintah pertama sebagai pelengkap negara Republik Indonesia.
Pada tahun 1946, BRI menjadi satu-satunya bank pemerintah RI. Hal ini berlangsung sampai terbentuknya Bank Negara Indonesia pada tanggal 5 Juli 1946. Oleh karena itu usaha perkreditannya pun ditujukan untuk melayani segala kebutuhan kredit, terutama kredit pemerintah sendiri.
Kondisi keuangan BRI pada masa permulaan kemerdekaan sebenarnya relatif baik.Di samping membantu pemerintah dalam masa perjuangan, BRI juga melayani masyrakat baik yang berpenghasilan tetap, masyarakat pedesaan serta pengusaha menengah dan nasional meskipun dengan pelayanan yang masih sederhana.
Kemampuan melayani kredit itu dimungkinkan karena BRI diijinkan mempergunakan sebagian dari Hasil Pinjaman Nasional 1946. Pada masa-masa ini BRI juga berperan penting dalam proses penggantian uang Jepang ke ORI (Oeang Republik Indonesia) dengan melibatkan kantor-kantor cabangnya.
Warkat Pinjaman Nasional 1946 yang dikeluarkan oleh pemerintah RI
(Koleksi Museum BRI)

Masalah yang timbul dari situasi keamanan dan politik bagi perkembangan BRI sebagai bank baru pada masa awal operasinya tidak berhenti sampai pada masalah kehadiran NICA. Masalah menjadi lebih berat lagi ketika terjadi Agresi Militer Belanda pada tahun 1947. Agresi ini memungkinkan Belanda kembali menguasai hampir seluruh wilayah Indonesia sehingga wilayah RI tinggal hanya di pedalaman Jawa dan Sumatera. Pembagian wilayah seperti yang tercantum dari perjanjian Renville sangat mengganggu kelancaran operasional BRI, karena wilayah kerja yang semakin sempit, semula 68 cabang menjadi hanya 29 cabang yang dipimpin oleh Kantor Besar di Yogyakarta.
Situasi saat terjadinya Agresi Militer Belanda I
( Koleksi Museum BRI (repro))

Masalah lebih rumit timbul ketika dioperasikannya kembali AVB (Algemene Volscredietbank) oleh pemerintah NICA. Selain tidak mengakui keberadaan BRI pemerintah NICA juga menuntut agar BRI dilebur ke dalam AVB. Situasi menjadi semakin berat ketika terjadi kembali Agresi yang kedua pada tahun 1948. BRI yang berada di daerah RI oleh NICA dikembalikan menjadi AVB. Para direksi BRI serta kepala bagian ditangkap atas tuduhan penggelapan uang BRI untuk membantu para pejuang kemerdekaan. kondisi tersebut menyebabkan kegiatan operasional BRI terhenti selama kurang lebih satu tahun, sampai Perjanjian Roem Royen disepakati pada tanggal 7 Mei 1949.
Bank Rakjat Indonesia
(Koleksi Museum BRI)

Teks ditulis kembali berdasarkan: "SERATUS TAHUN BANK RAKYAT INDONESIA", Jakarta: Humas Bank Rakyat Indonesia, 1995.
Foto: Koleksi Museum Bank Rakyat Indonesia

Minggu, 19 Februari 2012

KOIN

Koleksi numismatik Museum BRI mencakup koin dari masa Majapahit, koin kepeng, koin VOC, koin pada masa Hindia Belanda, dan koin RI sampai tahun 1971.

Pada masa periode Hindu Budha di Indonesia telah dikenal alat tukar antara lain berupa uang koin. Pada masa Majapahit (1293 M-1522 M) dikenal berbagai macam uang logam yang digunakan sebagai alat tukar yang sah. Di antaranya adalah uang lokal dan uang dari wilayah lain (mata uang asing). Termasuk mata uang lokal adalah uang perak, emas, dan uang dari campuran perak, timah, dan tembaga (atau uang perunggu). Ukuran mata uang yang digunakan pada masa ini antara lain su (suwarna), ma (masa), ku (kupang). Umumnya singkatan dari ukuran ini diterakan ke permukaan uang untuk menandai besarnya nilai.
Gobog Majapahit (Abad 15 M-16 M)

Pada abad yang sama selain uang lokal dari kerajaan-kerajaan di Nusantara ternyata mata uang asing juga diterima sebagai alat tukar oleh penduduk setempat. contohnya adalah uang dari Cina yang disebut uang Kepeng. Uang Kepeng Cina telah digunakan mulai masa Majapahit awal, uang tersebut berasal dari dinasti T'ang, Song, Ming, dan Qing.
Kepeng Cina

Memasuki awal masa kolonial pada abad 17 M, VOC (Vereninge Oost Indische Compagnie) memperkenalkan mata uang logam yang mereka terbitkan. di antaranya dikenal dengan nama Stuiver, Doit, dan Silver Ryder (Dukaton/dukat). Koin-koin VOC tersebut dicetak di Belanda untuk kemudian diedarkan di daerah-daerah monopoli VOC. Pencetak dan pengesah mata uang logam ini adalah para pemegang saham VOC yang dikenal dengan nama "Heeren XVII" atau the Seventeen Gentleman di Amsterdam.
Doit VOC

VOC bertahan selama 197 tahun hingga pada tahun 1799 mengalami masa kebangkrutan. Hingga pada akhirnya Kerajaan Belanda langsung mengambil alih kekuasaan di Hindia Belanda. Selama masa pendudukan ini bukan berarti Belanda memerintah terus menerus, namun juga terjadi masa interval, dimana Belanda harus menyerahkan kekuasaannya. Pertama kepada Perancis (1806-1811) dan kedua kepada Inggris (1811-1816).
"Benggol" (2 1/2 cent) Nederlandsch Indie

Masa kolonial Hindia Belanda dapat dibagi dalam empat masa pemerintahan, masa Raja Willem I (1815-1840), Raja Willem II (1840-1849), Raja Willem III (1849-1890), dan masa Ratu Wilhemina (1890-1948). Pada masa kependudukan yang panjang ini banyak jenis koin yang beredar dan berganti-ganti. Koin-koin pada masa ini umum dibuat dari perak dan tembaga. 
Munt van het Koningrijk Der Nederlanden (1872)

Koleksi koin dari masa NKRI sendiri dimulai dari tahun 1951 hingga 1978. Koin-koin tersebut dibuat dari alumunium dan kupronikel. Selain koleksi uang resmi yang beredar, terdapat juga koleksi mata uang khusus peringatan yang jumlah dan peredarannya terbatas. Koin inilah yang disebut dengan komerativ koin yang juga dicetak oleh BI.
Republik Indonesia (BI 1971)

Teks: Wiwit Jawi Indah
Foto: Wiwit Jawi Indah 

Usaha merakyatkan Bank: Algemene Volkscredietbank, 19 Februari 1934

Algemene Volkskredietbank (AVB). Membicarakan keberadaan AVB tidak terlepas dari sejarah Volksbank. Sedang membicarakan Volksbank maka kita harus berkenalan dengan seorang tokoh bernama W.P.D. de Wolf. De Wolf sendiri adalah Asisten Residen Banyumas yang menggantikan E. Sieburgh pada tahun 1897. Rupa-rupanya de Wolf adalah Asisten Residen yang juga cakap dalam pengelolaan perbankan.De Wolf kemudian menerapkan pengetahuannya tentang pengelolaan bank-bank petani di Jerman pada bank "Priyayi". Maka Hulp en Spaabank der Inlandsche Bestuurs Ambtenaren  mulai mengalami pembenahan di sana sini. Antara lain de Wolf mengusahakan suatu badan hukum bank, dan yang terpenting adalah memperluas kebijakan penyaluran kredit. Bank ini diproyeksikan menjadi sentral dari bank-bank koperasi di pedesaan mencontoh bank-bank petani di Jerman. Pembenahan ini membuat bantuan kredit dapat dijangkau oleh kalangan rakyat luas, tidak hanya oleh kalangan pegawai pangreh praja saja. Sejalan dengan reorganisasi tersebut Hulp en Spaabank der Inlandsche Bestuurs Ambtenaren berganti nama menjadi Poewokertosche Hulp, Spaar an Landbouw Credietbank (Bank Bantuan Simpanan dan Kredit Usaha Tani Purwokerto). Dan nama yang terakhir inilah yang kemudian dikenal secara luas dengan sebutan Volksbank atau Bank Rakyat.

Usaha merakyatkan Bank yang dilakukan oleh de Wolf turut pula membawa angin perubahan di afdeling-afdeling (kabupaten) lain di luar Banyumas. Beberapa daerah dengan Asisten Residen atau Bupati mendirikan bank-bank serupa. Pendirian bank-bank tersebut kemudian diikuti dengan terbentuknya lumbung-lumbung desa.
Seiring dengan perkembangannya, 15 tahun kemudian, pada tahun 1912 pemerintah Hindia Belanda mendirikan Centrale Kas Voor het Volkscredietwezen. Tertulis dalam Keputusan Raja Belanda No 118 Staatblad 1912 No 392 , pada pasal 2 disebutkan bahwa Centrale Kas bertujuan: menyediakan dana usaha dan memberikan bantuan dalam pengelolaan (pembinaan dan pengawasan) kepada badan-badan kredit rakyat, serta menerima simpanan dana dari badan-badan kredit rakyat tersebut.

Namun pada perkembangannya Centrale Kas menjadi bumerang bagi Bank-bank lokal yang seharusnya dilindunginya. Akibatnya kondisi Volksbank menjadi memprihatinkan akibat campur tangan Centrale kas di bidang manajemen dan terjadi penggelapan uang yang dilakukan oleh para administratur. Maka untuk mengatasi masalah tersebut pada tahun 1934 atas usul Mr. Th. A. Fruin dibentuklah AVB (Algemene Volkscredietbank). AVB dibentuk sebagai wadah mempersatukan bank-bank lokal guna menghindari kesulitan finansial, yang mengakibatkan kebangkrutan.
Secara resmi AVB didirikan sebagai badan hukum Eropa dengan ordonansi tanggal 19 Februari 1934 dan dituangkan dalam Staabsblad No 82 tentang Bepalingen betreffende de Algemene Volkscredietbank.

Catatan-catatan yang ada sepanjang 1934-1940 memperlihatkan peran AVB sangat luas mencakup pemberian pinjaman untuk pembebasan penduduk desa dari ikatan hutang riba, sebagai contoh adalah pinjaman gangsur (gangsur berarti hubungan hutang piutang yang berangsur-angsur meningkat dan akhirnya menumpuk). Catatan-catatan semacam ini dituangkan dalam majalah Volkscredietwezen.
Bertahun-tahun kemudian AVB masih terus berjalan dan berkembang hingga pada masa kedatangan militer Jepang untuk mengambil alih kekuasaan di Hindia Belanda pada tahun 1942.

AVB (1934-1942)


Teks: Wiwit Jawi Indah
Foto: Wiwit Jawi Indah