Senin, 19 Maret 2012

19 Maret 1950: Gunting Sjafruddin

Salah satu fenomena moneter yang paling terkenal pada masa mempertahankan kemerdekaan adalah "Gunting Sjafruddin". Secara harfiah memang dilakukan pemotongan uang menjadi dua bagian. Dari pecahan bernilai 5 Rupiah (Gulden) ke atas. Bagian kiri tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah dengan nilai separuhnya sampai tanggal 9 April 1950 jam 18.00. Guntingan sebelah kanan dapat ditukar dengan obligasi negara 3% per tahun dan akan dibayar dalam jangka 43 tahun.Sedangkan Deposito di Bank memiliki nasib yang sama dengan bagian kanan uang yang tergunting.
Uang de Javasche Bank dan uang NICA yang digunting

Keputusan yang tercantum dalam Keputusan Menteri Keuangan RIS, Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Nomor PU-1 dan PU-2. Peraturan tersebut ditujukan untuk uang kertas de Javasche Bank dan uang NICA. Tujuannya adalah menyedot jumlah uang yang beredar terlalu banyak, menghimpun dana pembangunan, dan menekan defisit anggaran belanja.
bagian kanan
bagian kiri

Polemik pun mewabah terutama menyangkut masalah kerahasiaan keputusan dan penentuan hari H yang jatuh pada tanggung bulan yaitu tanggal 19 Maret, pada saat orang cukup memegang uang dan buruh mingguan baru mendapat upah minggu keduanya.   

Teks: ditulis kembali berdasarkan Banknotes and Coins from Indonesia 1945-1990 
Foto:  Banknotes and Coins from Indonesia 1945-1990                                          

Kamis, 15 Maret 2012

Koleksi: Artefak dan Mesin

arca Kuwera


Untuk menggambarkan bagaimana pekerjaan-pekerjaan di bank dilakukan, Museum BRI menampilkan koleksi berupa mesin-mesin dan artefak lainnya, seperti peralatan serta lukisan-lukisan.
tempat tinta

Beberapa lukisan dipamerkan adalah lukisan bertema aktivitas Raden Aria Wirjaatmadja. Oleh karena jabatannya Raden Aria memiliki beberapa tugas yang ternyata dapat dimanfaatkan untuk mendukung keberadaan Hulp en Spaarbank der Inlandsche Bestuures Ambtenaren di tengah kaum Pribumi.

Pada masa awal-awal, pegawai bank bekerja dengan alat-alat yang masih sangat sederhana sekali seperti pena dan kertas. Namun mereka juga dibantu dengan alat-alat yang membuat pekerjaan mereka lebih mudah seperti alat hitung misalnya. Alat hitung yang sederhana seperti sebuah swimpoa dan lama kelamaan berkembang menjadi semakin kompleks. muncul alat hitung atau kita kenal dengan kalkulator. 
serta alat tulis typewriter, atau mesin ketik.
mesin hitung PLUSS 1930

Alat hitung lain yang lebih kompleks adalah NCR. NCR kependekan dari National Cash Register merupakan alat yang dipakai untuk menghitung uang masuk dan keluar (atau mesin kasir) juga umum digunakan sebagai alat bantu pekerjaan-pekerjaan di bank. 
mesin hitung ADDO.X 1960


Nama NCR sebenarnya bukanlah mengacu jenis mesin, namun merk mesin itu sendiri. Pada kalangan pegawai, mereka seringkali menamakan alat-alat  sesuai dengan merk alat tersebut. seperti NCR, Burrough, Facit, dll.

NCR (National Cash Register) 1928

Alat-alat penyimpan uang ternyata sudah dikenal dari masa lampau. Bentuk yang sederhana adalah tempat penyimpan uang yang sering disebut celengan. Koleksi celengan tertua adalah celengan dari masa Kerajaan Majapahit. 
celengan dari masa Kerajaan Majapahit


Celengan-celengan ini terbuat dari tanah liat dan berbentuk aneka satwa, kendi serta bentuk lainnya. 
celengan tradisional
Sampai sekarang celengan masih sangat umum dikenal apalagi oleh kalangan anak-anak. Celengan merupakan salah-satu alat belajar, dimana anak-anak dididik untuk pandai menyimpan uangnya dan berhemat. Oleh karena itu seringkali celengan dibuat dengan bentuk dan warna yang menarik bagi anak-anak.
Tempat penyimpan uang sangat variatif bentuk dan ukurannya. dari celengan yang tradisional hingga Brankast,  yang dipenuhi kode-kode dan lubang kunci. 

Teks: Wiwit Jawi Indah
Foto: Wiwit Jawi Indah

Rabu, 07 Maret 2012

NICA, Money Issue

NICA, Money Issue

Pada tanggal 29 September 1945, pasukan Sekutu mendarat di pelabuhan Tanjung Priok Jakarta dalam rangka pelucutan senjata dan pemulangan tentara Jepang. Letjen Sir Montague Stopford, Panglima AFNEI ( Allied Forces Netherlands Indie), pada tanggal 6 Maret 1946 melarang anggotanya menerima uang Jepang. Sebagai gantinya dikeluarkan uang NICA (Netherlands Indische Civil Administration). Uang NICA tersebut dicetak di Australia pada tahun 1943 dan bergambar Ratu Wilhemina, dan atas perintah tentara pendudukan Sekutu menjadi alat pembayaran yang sah bagi semua pihak yang bertikai pada saat itu. 
Kurs penukaran uang NICA ditetapkan 3% terhadap uang Jepang. Berarti satu rupiah uang Jepang dinilai sama dengan tiga sen uang NICA. Hal ini menyulut protes dari pihak Republik, oleh Perdana Menteri Sutan Syahrir disebut sebagai tindakan pelanggaran kedaulatan RI dan mengingkari perjanjian untuk tidak mengeluarkan mata uang baru selama situasi politik belum stabil.
Dengan diberlakukannya uang NICA di daerah pendudukan, mulai menimbulkan kesulitan terutama bagi mereka yang berdiam di daerah pendudukan (seperti, Jakarta, Bogor, Bandung, Surabaya, semarang, serta sebagian Sumatera dan Palembang). Daerah pendudukan terpisah dari daerah produksi barang keperluan sehari-hari. Orang-orang yang bekerja di daerah pendudukan menerima upah dan gaji dalam bentuk uang NICA padahal para pedagang dan petani hanya mau menerima uang Jepang yang merupakan uang sah di Republik Indonesia, sebagaimana dianjurkan oleh pemerintah RI.
Keterbatasan dan ketidakwibawaan uang NICA itu berakibat merosotnya kurs. Dari tiga persen menjadi empat bahkan lima persen. Sementara harga barang-barang keperluan hidup terus membubung, sebab uang Jepang semakin banyak tersedot ke daerah produksi di pedalaman. Sedang di sana juga terjadi inflasi, di samping barang-barang sulit didistribusikan dari daerah itu.Seabaliknya, penduduk pedalaman kesulitan ketika harus memenuhi barang konsumsi seperti pakaian, obat, gula dan lain sebagainya yang hanya dijual di kota dan hanya dapat dibeli dengan uang NICA.
Untuk mematahkan dominasi uang NICA yang semakin menyebar, Pemerintah RI mencetak dan mengedarkan ORI (Oeang Republik Indonesia) pada tanggal 30 Oktober 1946 untuk menggantikan uang pendudukan Jepang. ORI selain secara politis ditujukan untuk menunjukkan kedaulatan Republik, juga untuk menyehatkan ekonomi yang dilanda inflasi hebat.
Pertarungan kewibawaan dua mata uang dari dua pihak tersebut memaksa setiap orang harus memilih. Menolak atau menerima uang NICA atau uang ORI. tak jarang terjadi insiden penganiayaan terhadap mereka yang tidak mau menerima uang NICA.


Menurut pakar Amerika George Mc. Kahin dalam bukunya pada tahun 1948-1950, menulis efek Serangan Umum 1 Maret 1949 atas kota Yogyakarta terhadap nilai tukar ORI dengan uang NICA.Menurut Kahin, ORI sederhana buatannya bergambar presiden Soekarno terlihat lebih mampu membangkitkan kekuatan yang besar, jauh melebihi perkiraan yang dapat dibayangkan oleh militer Belanda.


Teks: Dikutip dari Nagara Dana Raksa (Album Peringatan Oeang Republik Indonesia)
Foto: Koleksi Museum BRI