Rabu, 03 April 2013


PRAKTEK PELEPAS UANG PADA MASA HINDIA BELANDA
Bagian II: Kisah-Kisah dari Daerah
Peta Nederlansche Indie, 1893
Kali ini kita akan menengok beberapa cerita dari daerah-daerah yang menjadi lahan pelepas uang. Daerah-daerah hisapan di Pulau Jawa sangat luas, dan umumnya menimpa petani di desa-desa. Petani memang seringkali menjadi sasaran bagi pelepas uang. Karena kekurang tahuannya, karena belitan kemiskin, dan karena sistem yang ada nyata-nyata menjadikan mereka dasar pijakan di piramida ekonomi. Bagaimana sebelum segalanya dinilai dengan uang, sebelum alam yang mereka andalkan dipadati oleh kaum mereka sendiri, petani mampu memenuhi kebutuhan hidupnya dari lingkungannya sendiri, dari sawah, dari pekarangan rumah, dari sungai. 
Ketika penduduk semakin padat, sawah dan pekarangan semakin menciut, ikan di sungai tidak lagi mudah didapat, padahal iuran pajak dan barang-barang keperluan hidup semakin beragam saja. Munculah hutang kemudian, hutang untuk mengolah sawah, yang hasilnya pun sudah tergadaikan sedari awal bibit mereka tanam, hutang untuk menikahkan anak-anak mereka, hutang untuk membeli kemewahan dari kota. Maka berbondonglah para pelepas uang yang akan menyegarkan dahaga mereka bukan dengan air kelapa melainkan air garam.
ilustrasi: petani


Daerah Tangerang dan Bogor di mana petani-petani berusaha di atas tanah partikelir yaitu tanah milik tuan tanah, yang tidak terkena peraturan larangan menjual hak tanahnya pada orang-orang yang bukan pribumi; maka petani-petani yang mempunyai sawah yang baik dapat memperoleh pinjaman dari orang-orang Tiong Hoa dengan bunga 150% sampai 200% setahun. Pada waktunya petani hanya membayar sebagian dari pinjamannya dan dengan mudah pula ia memperoleh pinjaman baru dari orang-orang Tiong Hoa pelepas uang tersebut. Apabila mereka sudah cukup dalam terbenam dalam hutang maka tiba-tiba si pelepas uang menagih seluruh uang yang dipinjamkann beserta bunganya. karena terdesak maka si petani terpaksa melepas hak tanahnya dengan akte notaris dengan memperoleh sedikit tambahan uang; pada mula-mula dengan hak membeli kembali, tetapi kemudian melepasnya untuk selama-lamanya. Dengan pura-pura menaruh rasa iba maka tanah tersebut diserahkan oleh pelepas uang kepada si petani untuk digarap, yang memperoleh 1/2 atau 2/3 bagian dari hasil panennya.

Ada berbagai macam perjanjian yang dipergunakan oleh para petani untuk mendapatkan pinjaman. Pinjaman dengan perjanjian menyerahkan seluruh atau sebagian hasil panen dengan penetapan harga murah, sangat sering terjadi. 

Di Tegal terjadi bahwa pinjaman-pinjaman diberikan dengan tembakau yang masih di kebun sebagai jaminannya, denga persyaratan bahwa si petani peminjam harus menyerahkan tembakau yang sudah siap diolah untuk pasaran lokal dengan harga yang jauh di bawah harga pasar (biasanya setengahnya) kepada si pelepas uang.

Di Pekalongan banyak perjanjian pinjaman yang dibuat, bahwa untuk pinjaman yang besarnya f.10 (sepuluh rupiah), maka sesudah panen atau yaitu sesudah enam bulan, hasil padi dari 1/2 bahu sawah (yang nilainya sekitar f.25) harus diserahkan sebagai pembayaran pinjaman.

Di Kudus dengan uang sebesar f.20 atau f.25, pelepas uang Tiong Hoa dapat memiliki 1/2 dari hasil tanaman tebu yang seringkali bernilai lebih dari f.100. Transaksi pinjam meminjam sebesar f.1 yang dibayar kembali dengan 1 pikul padi terdapat hampir di mana-mana (1 pikul = 61,76kg).

Di Purbalingga terdapat transaksi-transaksi pinjam meminjam dengan cara "maro", yang apabila si peminjam tidak dapat membayar kembali pokok pinjaman dan bunganya, maka ia harus menyerahkan sebidang sawah kepada pelepas uang. Luas tanah yang harus diserahkan tergantung dari kepada kebutuhan uang dari petani. Kadang-kadang sawah terpakasa diserahkan dengan hanya menerima 1/3 dari harga sebenarnya. 

Di Probolinggo para petani menggunakan cara "torogan" untuk pinjaman guna pembayaran pajak buminya.Seseorang (biasanya adalah petinggi) membayar dahulu pajak terhutang dari petani dan ia akan mendapatkan tanah untuk masa satu tahun atau lebih sampai hutang si petani dilunasi. Banyak terjadi bahwa apabila si petani meninggal dunia tanah-tanahnya "lupa" dikembalikan oleh si pelepas uang.

ilustrasi: surat perjanjian


Teks: Wiwit Jawi Indah, disarikan dari "Sejarah Pendirian Bank Perkreditan Rakyat", Drs. Pandu Suharto, LPPI, Jakarta. 1988.
Ilustrasi foto:http://commons.wikimedia.org; http://bahaulabook.blogspot.com 

Selasa, 02 April 2013

PRAKTEK PELEPAS UANG PADA MASA HINDIA BELANDA
Bagian I

Orang-orang Indonesia khususnya yang tinggal di daerah pedesaan selalu dalam kesulitan uang dan tidak ada tempat atau lembaga di mana mereka dapat memperoleh pinjaman dengan bunga yang rendah. demikian pula keadaan tingkat pendidikan dan pengetahuan mereka sangat kurang, sehingga seringkali abai dengan masa depan. Para pelepas uang dari berbagai bangsa menggunakan kesempitan dalam keuangan dan kelemahan  pengetahuan dari orang-orang tersebut. Tak jarang para pelepas uang melakukan praktek pemerasan untuk melipat gandakan modal mereka.

F. Fokkens mengadakan penelitian atas permintaan Pemerintah Hindia Belanda mengenai keadaan ekonomi orang Timur Asing di Jawa dan Madura terutama dalam hubungannya dengan penduduk Pribumi. Penelitiannya menekankan pada penguasaan yang dilakukan oleh orang Timur Asing terhadap Pribumi melalui praktek woeker, yaitu pinjaman uang dengan suku bunga yang sangat tinggi dan dengan persyaratan yang sangat berat. 

Para pelepas uang yang biasanya orang-orang Tiong Hoa memberikan bantuan uang tunai kepada para petani yang membutuhkannya, dengan syarat bahwa pemberi pinjaman harus menerima kembali dengan bunga 100% sampai 200% dalam bentuk beras atau padi, segera setelah panen berikutnya. Surat perjanjian pinjaman seringkali dibuat dengan disaksikan oleh Kepala Desa atau Pamong Desa serta menjamin pengembalian uangnya. Bahkan untuk menjamin pengembalian uang tersebut meskipun panen padi gagal, maka dibuat surat jual beli fiktif dari kerbau (kerbau-kerbau) si petani. Petani mengakuai bahwa telah menerima untuk penjualan kerbaunya dan berjanji akan menyerahkannya setelah panen.

Apabila panennya berhasil maka ia membayar kembali hutangnya dengan beras atau padi. Tetapi jika panennya gagal maka ia akan kehilangan kerbaunya termasuk yang masih dalam kandungan atau anak-anak kerbau yang dilahirkan antara pembuatan surat perjanjian dan pembayaran pinjaman. Apakah petani itu membayar kembali dengan padi atau dengan kerbau, dapat dikatakan hampir pasti pada masa paceklik berikutnya yaitu pada bulan Desember, ia akan meminjam dalam jumlah yang lebih besar lagi daripada tahun sebelumnya. Karena ia harus menggunakan sebagian penghasilannya untuk melunasi pinjaman dan bunganya, maka ia akan mengalami kekurangan beras untuk rumah tangganya. Apabila ia kehilangan kerbaunya maka ia harus menyewanya untuk pengerjaan sawah. Maka tahun demi tahun hutangnya makin bertambah besar. Akhirnya petani itu pada hakekatnya menanam dan memanen padi utnuk pelepas uang, dan seolah-olah ia menjadi penyewa dari tanahnya sendiri untuk memperoleh 1/2 atau kadang 2/3 dari hasil panennya. Maka apabila petani sekali terjerumus dalam hutang, hal ini dapat membuatnya terjerat kemelaratan.



Teks: disarikan dari "Sejarah Pendirian Bank Perkreditan Rakyat", Drs. Pandu Suharto, LPPI, Jakarta. 1988.
Foto: www.djawatempoedoeloe.multiply.com