Dari Syomin Ginko ke BRI
Setelah kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, orang-orang Jepang yang memimpin Syomin Ginko dianjurkan agar mengundang para pimpinan kantor cabang Syomin Ginko ke Jakarta untuk merundingkan peralihan yang sedang berlangsung. Namun, para pemimpin Jepang tidak dapat mengabulkan anjuran tersebut dengan alasan untuk menjaga status quo di Indonesia hingga sekutu mendarat dan mengambil alih kekuasaan di Indonesia.
perundingan tersebut melibatkan tokoh "Pemimpin Empat" mereka adalah: M. Harsoadi, M. Soegijono Tjokrowirono, R. Ng. Ismail dan TB. Sabarudin.
![]() |
M. Harsoadi (Presiden Direktur pertama BRI: 1946-1953) (Koleksi Museum BRI) |
Keputusan pihak Jepang tersebut tidak dapat diterima oleh beberapa tokoh (Soemantri, Parmin Martokoesoemo, dan Soedarto Dirdjoatmodjo). Maka kemudian mereka menghadap Komite Nasional Indonesia (KNI) untuk membahas masalah yang sama. Hasil Konsolidasi tersebut membuat BRI dikuasai oleh tenaga-tenaga Indonesia secara de facto pada Oktober 1945. Direksi pertama BRI adalah: M. Harsoadi ( presiden direktur), M. Soegijono Tjokrowirono (direktur), dan M. Soemantri (direktur merangkap sekretaris). Kantor pertama BRI adalah Gedung Escompto. Namun, gedung ini hanya sebentar digunakan sebagai kantor BRI (Syomin Ginko, de facto BRI). Dan seterusnya BRI terpaksa berpindah-pindah kantor karena keadaan politik yang tidak menentu. Pada tanggal 4 Januari 1946 menyusul berpindahnya ibukota dari Jakarta ke Yogyakarta, BRI juga ikut pindah, sebagian ke Yogyakarta mengikuti kementrian induknya dan sebagian ke Purwokerto.
Akhirnya pada tanggal 22 Februari 1946 Syomin Ginko secara resmi berganti menjadi Bank Rakjat Indonesia (BRI). Keputusan ini dituangkan dalam Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1946. Pada pasal 1 PP ini disebutkan bahwa BRI adalah Bank Pemerintah yang dulu berturut turut bernama Algemene Volkscredietbank dan Syomin Ginko. Selanjutnya dalam pasal 2 disebutkan bahwa wilayah kerja BRI adalah seluruh Indonesia. Dengan demikian secara de facto maupun de jure BRI menjadi bank pemerintah pertama sebagai pelengkap negara Republik Indonesia.
Pada tahun 1946, BRI menjadi satu-satunya bank pemerintah RI. Hal ini berlangsung sampai terbentuknya Bank Negara Indonesia pada tanggal 5 Juli 1946. Oleh karena itu usaha perkreditannya pun ditujukan untuk melayani segala kebutuhan kredit, terutama kredit pemerintah sendiri.
Kondisi keuangan BRI pada masa permulaan kemerdekaan sebenarnya relatif baik.Di samping membantu pemerintah dalam masa perjuangan, BRI juga melayani masyrakat baik yang berpenghasilan tetap, masyarakat pedesaan serta pengusaha menengah dan nasional meskipun dengan pelayanan yang masih sederhana.
Kemampuan melayani kredit itu dimungkinkan karena BRI diijinkan mempergunakan sebagian dari Hasil Pinjaman Nasional 1946. Pada masa-masa ini BRI juga berperan penting dalam proses penggantian uang Jepang ke ORI (Oeang Republik Indonesia) dengan melibatkan kantor-kantor cabangnya.
![]() |
Warkat Pinjaman Nasional 1946 yang dikeluarkan oleh pemerintah RI (Koleksi Museum BRI) |
Masalah yang timbul dari situasi keamanan dan politik bagi perkembangan BRI sebagai bank baru pada masa awal operasinya tidak berhenti sampai pada masalah kehadiran NICA. Masalah menjadi lebih berat lagi ketika terjadi Agresi Militer Belanda pada tahun 1947. Agresi ini memungkinkan Belanda kembali menguasai hampir seluruh wilayah Indonesia sehingga wilayah RI tinggal hanya di pedalaman Jawa dan Sumatera. Pembagian wilayah seperti yang tercantum dari perjanjian Renville sangat mengganggu kelancaran operasional BRI, karena wilayah kerja yang semakin sempit, semula 68 cabang menjadi hanya 29 cabang yang dipimpin oleh Kantor Besar di Yogyakarta.
Situasi saat terjadinya Agresi Militer Belanda I ( Koleksi Museum BRI (repro)) |
Masalah lebih rumit timbul ketika dioperasikannya kembali AVB (Algemene Volscredietbank) oleh pemerintah NICA. Selain tidak mengakui keberadaan BRI pemerintah NICA juga menuntut agar BRI dilebur ke dalam AVB. Situasi menjadi semakin berat ketika terjadi kembali Agresi yang kedua pada tahun 1948. BRI yang berada di daerah RI oleh NICA dikembalikan menjadi AVB. Para direksi BRI serta kepala bagian ditangkap atas tuduhan penggelapan uang BRI untuk membantu para pejuang kemerdekaan. kondisi tersebut menyebabkan kegiatan operasional BRI terhenti selama kurang lebih satu tahun, sampai Perjanjian Roem Royen disepakati pada tanggal 7 Mei 1949.
![]() |
Bank Rakjat Indonesia (Koleksi Museum BRI) |
Foto: Koleksi Museum Bank Rakyat Indonesia