PRAKTEK PELEPAS UANG PADA MASA HINDIA BELANDA
Bagian II: Kisah-Kisah dari Daerah
![]() |
Peta Nederlansche Indie, 1893 |
Kali ini kita akan menengok beberapa cerita dari daerah-daerah yang menjadi lahan pelepas uang. Daerah-daerah hisapan di Pulau Jawa sangat luas, dan umumnya menimpa petani di desa-desa. Petani memang seringkali menjadi sasaran bagi pelepas uang. Karena kekurang tahuannya, karena belitan kemiskin, dan karena sistem yang ada nyata-nyata menjadikan mereka dasar pijakan di piramida ekonomi. Bagaimana sebelum segalanya dinilai dengan uang, sebelum alam yang mereka andalkan dipadati oleh kaum mereka sendiri, petani mampu memenuhi kebutuhan hidupnya dari lingkungannya sendiri, dari sawah, dari pekarangan rumah, dari sungai.
Ketika penduduk semakin padat, sawah dan pekarangan semakin menciut, ikan di sungai tidak lagi mudah didapat, padahal iuran pajak dan barang-barang keperluan hidup semakin beragam saja. Munculah hutang kemudian, hutang untuk mengolah sawah, yang hasilnya pun sudah tergadaikan sedari awal bibit mereka tanam, hutang untuk menikahkan anak-anak mereka, hutang untuk membeli kemewahan dari kota. Maka berbondonglah para pelepas uang yang akan menyegarkan dahaga mereka bukan dengan air kelapa melainkan air garam.
![]() |
ilustrasi: petani |
Daerah Tangerang dan Bogor di mana petani-petani berusaha di atas tanah partikelir yaitu tanah milik tuan tanah, yang tidak terkena peraturan larangan menjual hak tanahnya pada orang-orang yang bukan pribumi; maka petani-petani yang mempunyai sawah yang baik dapat memperoleh pinjaman dari orang-orang Tiong Hoa dengan bunga 150% sampai 200% setahun. Pada waktunya petani hanya membayar sebagian dari pinjamannya dan dengan mudah pula ia memperoleh pinjaman baru dari orang-orang Tiong Hoa pelepas uang tersebut. Apabila mereka sudah cukup dalam terbenam dalam hutang maka tiba-tiba si pelepas uang menagih seluruh uang yang dipinjamkann beserta bunganya. karena terdesak maka si petani terpaksa melepas hak tanahnya dengan akte notaris dengan memperoleh sedikit tambahan uang; pada mula-mula dengan hak membeli kembali, tetapi kemudian melepasnya untuk selama-lamanya. Dengan pura-pura menaruh rasa iba maka tanah tersebut diserahkan oleh pelepas uang kepada si petani untuk digarap, yang memperoleh 1/2 atau 2/3 bagian dari hasil panennya.
Ada berbagai macam perjanjian yang dipergunakan oleh para petani untuk mendapatkan pinjaman. Pinjaman dengan perjanjian menyerahkan seluruh atau sebagian hasil panen dengan penetapan harga murah, sangat sering terjadi.
Di Tegal terjadi bahwa pinjaman-pinjaman diberikan dengan tembakau yang masih di kebun sebagai jaminannya, denga persyaratan bahwa si petani peminjam harus menyerahkan tembakau yang sudah siap diolah untuk pasaran lokal dengan harga yang jauh di bawah harga pasar (biasanya setengahnya) kepada si pelepas uang.
Di Pekalongan banyak perjanjian pinjaman yang dibuat, bahwa untuk pinjaman yang besarnya f.10 (sepuluh rupiah), maka sesudah panen atau yaitu sesudah enam bulan, hasil padi dari 1/2 bahu sawah (yang nilainya sekitar f.25) harus diserahkan sebagai pembayaran pinjaman.
Di Kudus dengan uang sebesar f.20 atau f.25, pelepas uang Tiong Hoa dapat memiliki 1/2 dari hasil tanaman tebu yang seringkali bernilai lebih dari f.100. Transaksi pinjam meminjam sebesar f.1 yang dibayar kembali dengan 1 pikul padi terdapat hampir di mana-mana (1 pikul = 61,76kg).
Di Purbalingga terdapat transaksi-transaksi pinjam meminjam dengan cara "maro", yang apabila si peminjam tidak dapat membayar kembali pokok pinjaman dan bunganya, maka ia harus menyerahkan sebidang sawah kepada pelepas uang. Luas tanah yang harus diserahkan tergantung dari kepada kebutuhan uang dari petani. Kadang-kadang sawah terpakasa diserahkan dengan hanya menerima 1/3 dari harga sebenarnya.
Di Probolinggo para petani menggunakan cara "torogan" untuk pinjaman guna pembayaran pajak buminya.Seseorang (biasanya adalah petinggi) membayar dahulu pajak terhutang dari petani dan ia akan mendapatkan tanah untuk masa satu tahun atau lebih sampai hutang si petani dilunasi. Banyak terjadi bahwa apabila si petani meninggal dunia tanah-tanahnya "lupa" dikembalikan oleh si pelepas uang.
![]() |
ilustrasi: surat perjanjian |
Teks: Wiwit Jawi Indah, disarikan dari "Sejarah Pendirian Bank Perkreditan Rakyat", Drs. Pandu Suharto, LPPI, Jakarta. 1988.
Ilustrasi foto:http://commons.wikimedia.org; http://bahaulabook.blogspot.com