Selasa, 02 April 2013

PRAKTEK PELEPAS UANG PADA MASA HINDIA BELANDA
Bagian I

Orang-orang Indonesia khususnya yang tinggal di daerah pedesaan selalu dalam kesulitan uang dan tidak ada tempat atau lembaga di mana mereka dapat memperoleh pinjaman dengan bunga yang rendah. demikian pula keadaan tingkat pendidikan dan pengetahuan mereka sangat kurang, sehingga seringkali abai dengan masa depan. Para pelepas uang dari berbagai bangsa menggunakan kesempitan dalam keuangan dan kelemahan  pengetahuan dari orang-orang tersebut. Tak jarang para pelepas uang melakukan praktek pemerasan untuk melipat gandakan modal mereka.

F. Fokkens mengadakan penelitian atas permintaan Pemerintah Hindia Belanda mengenai keadaan ekonomi orang Timur Asing di Jawa dan Madura terutama dalam hubungannya dengan penduduk Pribumi. Penelitiannya menekankan pada penguasaan yang dilakukan oleh orang Timur Asing terhadap Pribumi melalui praktek woeker, yaitu pinjaman uang dengan suku bunga yang sangat tinggi dan dengan persyaratan yang sangat berat. 

Para pelepas uang yang biasanya orang-orang Tiong Hoa memberikan bantuan uang tunai kepada para petani yang membutuhkannya, dengan syarat bahwa pemberi pinjaman harus menerima kembali dengan bunga 100% sampai 200% dalam bentuk beras atau padi, segera setelah panen berikutnya. Surat perjanjian pinjaman seringkali dibuat dengan disaksikan oleh Kepala Desa atau Pamong Desa serta menjamin pengembalian uangnya. Bahkan untuk menjamin pengembalian uang tersebut meskipun panen padi gagal, maka dibuat surat jual beli fiktif dari kerbau (kerbau-kerbau) si petani. Petani mengakuai bahwa telah menerima untuk penjualan kerbaunya dan berjanji akan menyerahkannya setelah panen.

Apabila panennya berhasil maka ia membayar kembali hutangnya dengan beras atau padi. Tetapi jika panennya gagal maka ia akan kehilangan kerbaunya termasuk yang masih dalam kandungan atau anak-anak kerbau yang dilahirkan antara pembuatan surat perjanjian dan pembayaran pinjaman. Apakah petani itu membayar kembali dengan padi atau dengan kerbau, dapat dikatakan hampir pasti pada masa paceklik berikutnya yaitu pada bulan Desember, ia akan meminjam dalam jumlah yang lebih besar lagi daripada tahun sebelumnya. Karena ia harus menggunakan sebagian penghasilannya untuk melunasi pinjaman dan bunganya, maka ia akan mengalami kekurangan beras untuk rumah tangganya. Apabila ia kehilangan kerbaunya maka ia harus menyewanya untuk pengerjaan sawah. Maka tahun demi tahun hutangnya makin bertambah besar. Akhirnya petani itu pada hakekatnya menanam dan memanen padi utnuk pelepas uang, dan seolah-olah ia menjadi penyewa dari tanahnya sendiri untuk memperoleh 1/2 atau kadang 2/3 dari hasil panennya. Maka apabila petani sekali terjerumus dalam hutang, hal ini dapat membuatnya terjerat kemelaratan.



Teks: disarikan dari "Sejarah Pendirian Bank Perkreditan Rakyat", Drs. Pandu Suharto, LPPI, Jakarta. 1988.
Foto: www.djawatempoedoeloe.multiply.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar