Rabu, 03 April 2013


PRAKTEK PELEPAS UANG PADA MASA HINDIA BELANDA
Bagian II: Kisah-Kisah dari Daerah
Peta Nederlansche Indie, 1893
Kali ini kita akan menengok beberapa cerita dari daerah-daerah yang menjadi lahan pelepas uang. Daerah-daerah hisapan di Pulau Jawa sangat luas, dan umumnya menimpa petani di desa-desa. Petani memang seringkali menjadi sasaran bagi pelepas uang. Karena kekurang tahuannya, karena belitan kemiskin, dan karena sistem yang ada nyata-nyata menjadikan mereka dasar pijakan di piramida ekonomi. Bagaimana sebelum segalanya dinilai dengan uang, sebelum alam yang mereka andalkan dipadati oleh kaum mereka sendiri, petani mampu memenuhi kebutuhan hidupnya dari lingkungannya sendiri, dari sawah, dari pekarangan rumah, dari sungai. 
Ketika penduduk semakin padat, sawah dan pekarangan semakin menciut, ikan di sungai tidak lagi mudah didapat, padahal iuran pajak dan barang-barang keperluan hidup semakin beragam saja. Munculah hutang kemudian, hutang untuk mengolah sawah, yang hasilnya pun sudah tergadaikan sedari awal bibit mereka tanam, hutang untuk menikahkan anak-anak mereka, hutang untuk membeli kemewahan dari kota. Maka berbondonglah para pelepas uang yang akan menyegarkan dahaga mereka bukan dengan air kelapa melainkan air garam.
ilustrasi: petani


Daerah Tangerang dan Bogor di mana petani-petani berusaha di atas tanah partikelir yaitu tanah milik tuan tanah, yang tidak terkena peraturan larangan menjual hak tanahnya pada orang-orang yang bukan pribumi; maka petani-petani yang mempunyai sawah yang baik dapat memperoleh pinjaman dari orang-orang Tiong Hoa dengan bunga 150% sampai 200% setahun. Pada waktunya petani hanya membayar sebagian dari pinjamannya dan dengan mudah pula ia memperoleh pinjaman baru dari orang-orang Tiong Hoa pelepas uang tersebut. Apabila mereka sudah cukup dalam terbenam dalam hutang maka tiba-tiba si pelepas uang menagih seluruh uang yang dipinjamkann beserta bunganya. karena terdesak maka si petani terpaksa melepas hak tanahnya dengan akte notaris dengan memperoleh sedikit tambahan uang; pada mula-mula dengan hak membeli kembali, tetapi kemudian melepasnya untuk selama-lamanya. Dengan pura-pura menaruh rasa iba maka tanah tersebut diserahkan oleh pelepas uang kepada si petani untuk digarap, yang memperoleh 1/2 atau 2/3 bagian dari hasil panennya.

Ada berbagai macam perjanjian yang dipergunakan oleh para petani untuk mendapatkan pinjaman. Pinjaman dengan perjanjian menyerahkan seluruh atau sebagian hasil panen dengan penetapan harga murah, sangat sering terjadi. 

Di Tegal terjadi bahwa pinjaman-pinjaman diberikan dengan tembakau yang masih di kebun sebagai jaminannya, denga persyaratan bahwa si petani peminjam harus menyerahkan tembakau yang sudah siap diolah untuk pasaran lokal dengan harga yang jauh di bawah harga pasar (biasanya setengahnya) kepada si pelepas uang.

Di Pekalongan banyak perjanjian pinjaman yang dibuat, bahwa untuk pinjaman yang besarnya f.10 (sepuluh rupiah), maka sesudah panen atau yaitu sesudah enam bulan, hasil padi dari 1/2 bahu sawah (yang nilainya sekitar f.25) harus diserahkan sebagai pembayaran pinjaman.

Di Kudus dengan uang sebesar f.20 atau f.25, pelepas uang Tiong Hoa dapat memiliki 1/2 dari hasil tanaman tebu yang seringkali bernilai lebih dari f.100. Transaksi pinjam meminjam sebesar f.1 yang dibayar kembali dengan 1 pikul padi terdapat hampir di mana-mana (1 pikul = 61,76kg).

Di Purbalingga terdapat transaksi-transaksi pinjam meminjam dengan cara "maro", yang apabila si peminjam tidak dapat membayar kembali pokok pinjaman dan bunganya, maka ia harus menyerahkan sebidang sawah kepada pelepas uang. Luas tanah yang harus diserahkan tergantung dari kepada kebutuhan uang dari petani. Kadang-kadang sawah terpakasa diserahkan dengan hanya menerima 1/3 dari harga sebenarnya. 

Di Probolinggo para petani menggunakan cara "torogan" untuk pinjaman guna pembayaran pajak buminya.Seseorang (biasanya adalah petinggi) membayar dahulu pajak terhutang dari petani dan ia akan mendapatkan tanah untuk masa satu tahun atau lebih sampai hutang si petani dilunasi. Banyak terjadi bahwa apabila si petani meninggal dunia tanah-tanahnya "lupa" dikembalikan oleh si pelepas uang.

ilustrasi: surat perjanjian


Teks: Wiwit Jawi Indah, disarikan dari "Sejarah Pendirian Bank Perkreditan Rakyat", Drs. Pandu Suharto, LPPI, Jakarta. 1988.
Ilustrasi foto:http://commons.wikimedia.org; http://bahaulabook.blogspot.com 

Selasa, 02 April 2013

PRAKTEK PELEPAS UANG PADA MASA HINDIA BELANDA
Bagian I

Orang-orang Indonesia khususnya yang tinggal di daerah pedesaan selalu dalam kesulitan uang dan tidak ada tempat atau lembaga di mana mereka dapat memperoleh pinjaman dengan bunga yang rendah. demikian pula keadaan tingkat pendidikan dan pengetahuan mereka sangat kurang, sehingga seringkali abai dengan masa depan. Para pelepas uang dari berbagai bangsa menggunakan kesempitan dalam keuangan dan kelemahan  pengetahuan dari orang-orang tersebut. Tak jarang para pelepas uang melakukan praktek pemerasan untuk melipat gandakan modal mereka.

F. Fokkens mengadakan penelitian atas permintaan Pemerintah Hindia Belanda mengenai keadaan ekonomi orang Timur Asing di Jawa dan Madura terutama dalam hubungannya dengan penduduk Pribumi. Penelitiannya menekankan pada penguasaan yang dilakukan oleh orang Timur Asing terhadap Pribumi melalui praktek woeker, yaitu pinjaman uang dengan suku bunga yang sangat tinggi dan dengan persyaratan yang sangat berat. 

Para pelepas uang yang biasanya orang-orang Tiong Hoa memberikan bantuan uang tunai kepada para petani yang membutuhkannya, dengan syarat bahwa pemberi pinjaman harus menerima kembali dengan bunga 100% sampai 200% dalam bentuk beras atau padi, segera setelah panen berikutnya. Surat perjanjian pinjaman seringkali dibuat dengan disaksikan oleh Kepala Desa atau Pamong Desa serta menjamin pengembalian uangnya. Bahkan untuk menjamin pengembalian uang tersebut meskipun panen padi gagal, maka dibuat surat jual beli fiktif dari kerbau (kerbau-kerbau) si petani. Petani mengakuai bahwa telah menerima untuk penjualan kerbaunya dan berjanji akan menyerahkannya setelah panen.

Apabila panennya berhasil maka ia membayar kembali hutangnya dengan beras atau padi. Tetapi jika panennya gagal maka ia akan kehilangan kerbaunya termasuk yang masih dalam kandungan atau anak-anak kerbau yang dilahirkan antara pembuatan surat perjanjian dan pembayaran pinjaman. Apakah petani itu membayar kembali dengan padi atau dengan kerbau, dapat dikatakan hampir pasti pada masa paceklik berikutnya yaitu pada bulan Desember, ia akan meminjam dalam jumlah yang lebih besar lagi daripada tahun sebelumnya. Karena ia harus menggunakan sebagian penghasilannya untuk melunasi pinjaman dan bunganya, maka ia akan mengalami kekurangan beras untuk rumah tangganya. Apabila ia kehilangan kerbaunya maka ia harus menyewanya untuk pengerjaan sawah. Maka tahun demi tahun hutangnya makin bertambah besar. Akhirnya petani itu pada hakekatnya menanam dan memanen padi utnuk pelepas uang, dan seolah-olah ia menjadi penyewa dari tanahnya sendiri untuk memperoleh 1/2 atau kadang 2/3 dari hasil panennya. Maka apabila petani sekali terjerumus dalam hutang, hal ini dapat membuatnya terjerat kemelaratan.



Teks: disarikan dari "Sejarah Pendirian Bank Perkreditan Rakyat", Drs. Pandu Suharto, LPPI, Jakarta. 1988.
Foto: www.djawatempoedoeloe.multiply.com


Selasa, 30 Oktober 2012

Oeang Poetih Kita!

Oeang Poetih Kita

Oeang Repoeblik Indonesia (ORI) adalah uang kertas yang pertama kali dikeluarkan oleh pemerintah Republik Indonesia. Uang tersebut dikeluarkan untuk menggantikan uang Hindia belanda dan uang Jepang yang masih berlaku sebagai alat pembayaran yang sah pada waktu Republik Indonesia masih berdiri. 
Pengeluaran ORI tidak berjalan dengan lancar. Rencana untuk membuat uang sendiri dilakukan pada waktu pemerintah republik berada di Jakarta, tetapi ketika ORI dikeluarkan, pemerintah sudah pindah ke Yogyakarta. Sesungguhnya perencanaannya dan permulaan dari proses pencetakannya berlangsung di tengah desingan peluru, kepulan asap mesiu dan ledakan bom. Situasi yang rawan sekitar usaha pengeluarannya membuat ORI sangat dekat di hati rakyat.
ORI tercatat sebagai alat yang mempersatukan tekad seluruh bangsa Indonesia untuk bersama-sama pemerintah Republik berjuang menegakkan kemerdekaan. 
ORI yang ditandatangani oleh Menteri Keuangan A.A. Maramis dan diberi tanggal 17 Oktober 1945, mulai beredar tanggal 30 Oktober 1946 dan ditarik kembali pada Maret 1950. Jadi hidupnya tidak lama, hanya 3 tahun 5 bulan.
1 Rupiah ORI 1945

ORI dimaksudkan untuk diedarkan sebagai alat pembayaran yang sah di seluruh daerah yang berada dalam kekuasaan Republik Indonesia pada waktu itu. Meliputi sebagian besar Pulau Jawa dan Madura serta Pulau Sumatera. Akan tetapi kesukaran-kesukaran di bidang pengangkutan menyebabkan ORI tidak sempat diedarkan di Pulau Sumatera. Sebagai alat pembayaran yang sah pada akhir 1947, di beberapa daerah di Sumatera telah dikeluarkan uang yang dikenal dengan macam-macam nama, seperti Oeang Repoeblik Sumatera (ORIPS), Uang Republik Sumatera Utara (URISU), Uang Republik Daerah Djambi (URIDJA), Uang Republik Indonesia Daerah Aceh (URIDA),Oeang Repoeblik Indonesia Daerah Tapanoeli (ORITA). Pemerintah Daerah Banten juga mengeluarkan Oeang Repoeblik Daerah Banten (ORIDAB). Bersamaan dengan penggantian ORI dengan uang baru pada bulan Maret 1950, jenis-jenis uang yang telah diedarkan oleh pemerintah daerah juga ditarik kembali.
Harian Kedaulatan Rakjat 28 Oktober 1946


ORI an Instrument of Revolution
Dalam buku peringatan Bung Hatta berusia 70 tahun, Sjafruddin Prawiranegara yang kemudian menjadi Gubernur pertama dari Bank Indonesia mengenang kembali pertemuannya dengan Wakil Presiden Hatta sebagai berikut:
"pertemuan itu terjadi pada bulan September atau Oktober 1945 di gedung yang sekarang ditempati oleh Mahkamah Agung, di samping bagian uatara dari Departemen Keuangan. Gedung itu merupakan kantor Presiden dan Wakil Presiden, Bung Karno dan Bung Hatta. Pertemuan itu diadakan untuk membicarakan suatu usul yang mula-mula disampaikan kepada saya oleh beberapa kawan dari Bandung-siapa persis saya tidak ingat lagi-tetapi yang gagasannya sesungguhnya sudah timbul juga dalam pikiran saya. Yakni usul untuk menyarankan kepada pemerintah Republik Indonesia yang baru lahir itu, supaya mengeluarkan uang Republik Indonesia sendiri sebagai pengganti uang Jepang yang masih berlaku pada waktu itu. Karena usul mereka itu memang cocok dengan pikiran saya, maka terus diusahakan supaya kami dapat diterima oleh Bung Hatta, yang dipandang paling kompeten dalam masalah uang, untuk menyampaikan isi hati kami. Wakil Presiden mula-mula sangsi tentang perlunya mengeluarkan uang baru. Tetapi sesudah diadakan sekedar tukar pikiran lebih lanjut, pada akhirnya beliau dapat pula diyakinkan tentang perlunya pemerintah mengeluarkan uang sendiri, dengan alasan bahwa Republik Indonesia adalah negara baru, dan karena itu perlu diadakan uang baru sebagai salah satu atribut negara merdeka dan berdaulat".
-------
Mungkin dapat dikatakan-sebagaimana dikemukakan oleh Sjafruddin dalam karangannya di dalam buku tersebut-bahwa pembicaraannya denganWakil Presiden Hatta merupakan permulaan dari lahirnya ORI.
Sjafruddin Prawiranegara, A.A Maramis, Mohammad Hatta

ORI mula-mula memang dimaksudkan sebagai salah satu lambang (atribut) negara yang merdeka dan berdaulat, akan tetapi ORI sesungguhnya telah menjadi sesuatu yang lebih dari itu, yaitu menjadi alat perjuangan revolusi.
Tidak lama setelah percakapan di atas, pemerintah Republik Indonesia memutuskan untuk mengeluarkan uang baru, yaitu Uang Republik Indonesia sendiri, tidak hanya untuk menggantikan uang Jepang saja, tetapi juga uang Hindia Belanda.

Di Tengah Asap Mesiu dan Ledakan Bom
Setelah keputusan untuk mengeluarkan uang sendiri diambil oleh pemerintah, maka pada tanggal 24 Oktober 1945 Menteri Keuangan A.A Maramis menginstruksikan kepada suatu tim dari Serikat Buruh Percetakan G. Kolff di Jakarta untuk melakukan peninjauan ke beberapa daerah, yaitu Surabaya, Malang, Solo, dan Yogyakarta, guna menentukan tempat pencetakan uang. Sebagai hasil peninjauan tersebut, tim berpendapat bahwa ada dua tempat yang memenuhi syarat yaitu Percetakan G. Kolff di Jakarta yang waktu itu dikuasai oleh Serikat Buruhnya, dan Nederlands Indische Metaalwaren en Emballage Fabrieken (NIMEF) di Kendalpayak, sebelah selatan kota Malang. 
Untuk meresmikan dan menertibkan usaha mengeluarkan uang, maka dengan Surat Keputusan Menteri keuangan No. 3/RO tanggal 7 Nopember 1945 dibentuk "Panitia Penyelenggara Percetakan Uang Kertas Republik Indonesia". Bertugas menyelenggarakan segala sesuatu yang bersangkutan dengan pencetakan uang. Panitia tersebut diketuai oleh TRB Sabarudin (pada waktu itu menjabat Direktur Bank Rakyat Indonesia) dan terdiri dari pejabat-pejabat Departemen Keuangan, Bank Rakyat Indonesia dan beberapa anggota Serikat Buruh Percetakan G. Kolff. Kemudian dibentuk pula panitia untuk mempertimbangkan cara-cara menerima, menyimpan, dan mengedarkan uang baru. Pada waktu pengeluaran uang mendekati penyelesaiannya ditetapkan pula perbandingan nilai uang baru tersebut terhadap uang yang berlaku, perlakuan terhadap uang lama dan kedudukan utang-utang.
Dalam menjalankan tugasnya, panitia penyelenggara menemui banyak kesulitan dan rintangan. Pertama-tama kesulitan untuk memperoleh bahan-bahan yang diperlukan berupa: kertas, tinta, bahan kimia untuk fotografi dan sinkografi, pelat seng untuk klise dan alat-alat seperti mesin aduk untuk membuat tinta. Berkat bantuan sukarela dari para karyawan beberapa perusahaan asing di Jakarta yang belum dikuasai oleh tentara Sekutu (di samping percetakan G. Kolff, juga percetakan De Unie, pabrik cat Pieter Schoen dan lain-lain) bahan dan alat-alat tersebut dapat diperoleh. Oleh karena percetakan G. Kolff pada waktu itu masih dikuasai Belanda, maka pencetakan pertama dilakukan di Percetakan Negara dengan mula-mula mencetak lembaran uang 100 Rupiah. Pembuatan klise dilakukan di Gedung Balai Pustaka dan percetakan De Unie, di sini pula dibuat gambar litografi.
Sementara itu suasana di Jakarta dan di beberapa tempat lainnya di Pulau Jawa menjadi hangat oleh karena kedatangan pasukan Sekutu yang di dalamnya turut pula tentara Belanda. 
Tugas pasukan Sekutu waktu itu adalah menerima penyerahan tentara Jepang dan memulangkan mereka ke negeri asalnya, membebaskan tawanan perang dan tahanan sipil serta menyelenggarakan keamanan dan ketertiban di Indonesia sampai pemerintah Kolonial Belanda mampu menjalankan tugasnya kembali. Tugas yang terakhir ini jelas bertentangan dengan kedaulatan Republik Indonesia sebagai negara merdeka. 
Sejak tanggal 29 September 1945 setiba pasukan Sekutu bentrokan-bentrokan senjata antara BKR (Badan Keaman Rakyat) dengan Sekutu tak dapat dihindarkan. Di antaranya yang paling dahsyat adalah pertempuran yang terjadi di Surabaya pada tanggal 10 Oktober 1945, di mana para pemuda mati-matian mempertahankan kota Surabaya selama tiga minggu.
Menjelang akhir bulan Desember 1945 semua pekerjaan yang bertalian dengan pencetakan ORI terpaksa dihentikan karena keadaan di Kota Jakarta di bawah pendudukan tentara Sekutu tidak memungkinkan lagi untuk meneruskan pekerjaan tersebut. Maka beberapa ratus rim lembaran 100 Rupiah yang belum diberi nomor seri dan segala bahan dan alat yang perlu bersama para karyawan dan keluarganya dipindahkan ke Yogyakarta.

Mengingat situasi keamanan yang semakin memburuk, maka Presiden dan Wakil Presiden pada tanggal 14 Januari 1946 pindah ke Yogyakarta dan kemudian ibukota Republik Indonesia turut pula pindah ke Yogyakarta, untuk menghimpun kekuatan di kota tersebut.
Pencetakan uang kemudian dilanjutkan pada percetakan NIMEF di Kendalpayak, di Solo dan Yogyakarta dengan menggunakan kertas dari pabrik kertas Padalarang dan pabrik kertas Leces (dekat Probolinggo). Untuk memperoleh bahan-bahan lain merupakan perjuangan yang memerlukan ketekunan, kelincahan dan keberanian, karena bahan-bahan tersebut terpaksa diselundupkan dari daerah pendudukan Belanda ke daerah Republik.
NIMEF Kendalpayak Malang setelah Agresi Militer (Foto dari Koleksi Tropen Museum)


Mulai Beredar, "Oeang Kita Menang!!" kata rakyat Jakarta
Sebelum ORI dapat dikeluarkan, pemerintah harus menarik semua uang Jepang dang uang Hindia Belanda dari peredaran dengan cara yang sedikit mungkin merugikan masyarakat. Maka pemerintah memutuskan untuk menarik kedua macam uang tersebut secara berangsur-angsur dari peredaran.
Sebagai tindakan pertama, mulai tanggal 22 Juni 1946 Pemerintah melarang orang membawa uang lebih dari 1000 Rupiah (uang Jepang) dari daerah karesidenan Jakarta, Semarang, Surabaya, Bogor, dan Priangan (yaitu daerah yang ibukotanya telah diduduki Belanda) ke daerah-daerah lain di Jawa dan Madura tanpa izin dari pemerintah daerah yang bersangkutan.
Demikian juga membawa uang dari luar masuk ke Pulau Jawa dan Madura lebih dari 5000 Rupiah (uang Jepang) tanpa izin Menteri Perdagangan dan Perindustrian.
Dengan larangan tersebut, pemerintah berusaha mencegah "penyerbuan" uang ke daerah Republik.
Selanjutnya pada tanggal 15 Juli 1946 di Jawa dan Madura seluruh uang Jepang dan uang Hindia Belanda yang ada di tangan masyarakat, perusahaan-perusahaan dan badan-badan lain harus harus disimpan pada bank-bank yang ditunjuk, yaitu: Bank Negara Indonesia, Bank Rakyat Indonesia, Bank Surakarta, Bank Nasional, Bank Tabungan Pos dan Rumah Gadai. Yang tidak wajib disimpan adalah sejumlah 50 Rupiah (uang jepang) bagi setiap penduduk, yang diperlukan untuk melanjutkan usahanya atau untuk kepentingan sehari-hari.
Uang Hindia Belanda atau Uang De Javasche Bank harus disimpan seluruhnya di bank.
Tim yang bertugas mencetak ORI telah bekerja dengan semangat dan keberanian serta sadar akan tanggung jawab yang dipikul. Tempat-tempat pencetakan  dijaga ketat oleh keamanan negara.
Hasil cetakan ORI dikirim ke seluruh Jawa dan Madura dalam gerbong-gerbong kereta api dengan pengawalan ketat, agar tidak dirampok di tengah jalan, suatu hal yang mudah saja terjadi, karena ORI hanya dibungkus secara darurat dengan keranjang-keranjang bekas.

Sehubungan dengan Keputusan Pemerintah, agar beredarnya ORI dilaksanakan serentak pada hari dan waktu yang sama di seluruh pulau Jawa dan Madura, maka dikirimkanlah surat edaran rahasia kepada pejabat daerah dan Kas Negara. Pada waktu yang telah ditentukan, sampul surat dibuka dan dimulailah ORI diedarkan pada saat yang sama di seluruh pulau Jawa dan Madura.
Keluarnya ORI didahului oleh pidato Wakil Presiden Moh. Hatta di muka corong Radio Republik Indonesia pada tanggal 29 Oktober 1946:
"Besok tanggal 30 Oktober 1946 soeatoe hari jang mengandoeng sedjarah bagi tanah air kita. Rakjat kita menghadapi penghidoepan baroe. Besok moelai beredar oeang Repoeblik Indonesia sebagai satoe-satoenja alat pembajaran jang sah. Moelai poekoel 12 tengah malam nanti, oeang Djepang jang selama ini beredar sebagai oeang jang sah tidak lakoe lagi. Beserta dengan oeang Djepang itoe ikoet poela tidak lakoe oeang Javasche Bank. Dengan ini toetoeplah soeatoe masa dalam sedjarah keoeangan Repoeblik Indonesia. Masa jang penoeh dengan penderitaan dan kesoekaran bagi rakjat kita!
Sedjak Moelai besok kita akan berbelandja dengan oeang kita sendiri, oeang jang dikeloearkan oleh Repoeblik kita. Oeang Repoeblik keloear dengan membawa perobahan nasib bagi rakjat. istimewa pegawai negeri , jang sekian lama menderita karena inflasi oeang Djepang. Roepiah Repoeblik jang harganja di Djawa lima poeloeh kali oeang Djepang, di Soematera seratoes kali, menimboelkan sekaligoes tenaga pembeli kepada golongan rakjat jang bergadji tetap, jang selama ini hidoep daripada menjoeal pakaian dan perabot roemah, dan djoega kepada rakjat jang menghasilkan, jang penghargaan toekar barang penghasilannja djadi tambah besar.
____
ORI juga memasuki daerah yang diduduki oleh Belanda, di mana uang NICA berlaku sebagai alat pembayaran yang sah. Perbandingan nilai kedua mata uang sudah tentu sangat dipengaruhi oleh pertimbangan spekulatif. Perbandingan nilai antara ORI dengan uang NICA di kota Jakarta pada hari-hari pertama menunjukkan angka 1 (ORI):5 (uang NICA), malah sampai 1:7, tetapi tidak lama kemudian turun menjadi 1:3 dan 1:2.
H. Rosihan Anwar menulis pengalamannya saat ORI masuk pertama kali di Jakarta:
"suatu hal lain yang menggetarkan masyarakat Jakarta ialah keluarnya Uang Republik atau ORI (Oeang Repoeblik Indonesia) atau dalam bahasa sehari-hari disebut "Uang Putih", untuk diedarkan dengan "Uang merah" yakni uang NICA-Belanda.
Pada tanggal 24 Oktober diumumkan dalam pers Undang_undang tentang pengeluaran Uang Republik di Indonesia. Enam hari kemudian surat kabar "Rakyat" memuat berita dengan judul "Uang kita menang, kata rakyat Jakarta."
Dalam berita itu diceritakan tentang seorang tukang becak yang memilih pembayaran 20 sen uang kita daripada pembayaran dengan uang NICA satu rupiah. Selanjutnya harga ayam di pasar Tanah Abang pada hari ini (30 Oktober) hanya 50 sen uang kita, sedangkan jika memakai uang NICA harus membayar 10 rupiah."
____
Di samping itu, beredarnya ORI bersamaan dengan uang NICA telah menimbulkan kesulitan bagi penduduk, khususnya di daerah perbatasan antara daerah yang dikuasai oleh Republik dan daerah yang diduduki NICA. Penduduk takut diketahui memiliki ORI oleh tentara NICA dan sebaliknya takut pula memiliki uang NICA bila didekati oleh pasukan Republik. Berhubung dengan berlangsungnya perundingan-perundingan yang kemudian berakhir dengan persetujuan Linggarjati, maka sejak 19 November 1946 ada suatu perjanjian antara kedua belah pihak yang menghendaki agar penduduk jangan dinganggu jika diketahui memiliki uang lawan.
Pencetakan ORI di Kendalpayak yang berjalan lancar mendadak harus dihentikan sehubungan dengan terjadinya Agresi Militer Belanda pada 21 Juli 1948. Mesin-mesin dan bahan-bahan harus diangkut ke daerah yang lebih terpencil lagi. Akhirnya di desa-desa di Ponorogo dan Madiun pencetakan kembali diteruskan hingga terjadinya Agresi yang kedua pada bulan Desember 1948.

Pengeluaran ORI oleh pemerintah terhenti sesudah Yogyakarta diduduki oleh tentara Belanda dengan aksi militernya yang kedua pada tanggal 19 Desember 1948. Selama Yogyakarta dikuasai Belanda, ORI masih beredar bersama-sama dengan uang NICA. Semua pengeluaran penguasa, seperti gaji pegawai, dan karyawan dilakukan dengan uang NICA. Adapun pegawai Republik Indonesia yang setia dapat mempertahankan diri berkat pembagian sekedar uang logam Hindia Belanda yang dilakukan secara rahasia oleh panitia setempat.
Untuk menghilangkan keragu-raguan di sementara kalangan masyarakat terhadap berlakunya ORI, maka Menteri Negara Koordinator Keamanan, Sultan Hamengkubuwono IX, dengan pengumuman No I/11 tanggal 1 Juli 1949 menetapkan bahwa ORI tetap merupakan alat pembayaran yang sah  di samping "uang yang telah beredar karena pendudukan". Dengan demikian kedua jenis mata uang tersebut untuk sementara beredar di daerah Istimewa Yogyakarta. Antara ORI dan uang NICA tidak ditetapkan perbandingan (kurs) tetentu.
Setelah pemerintahan Republik Indonesi kembali ke Yogyakarta dalam bulan Juli 1949 dihadapi masalah baru yaitu persediaan ORI yang dapat dikuasai hanya cukup untuk beberapa bulan saja, sedangkan sumbernya (alat-alat pencetak) sebagai aksi militer kedua, sudah tidak dapat digunakan. Maka setelah beberapa bulan pembiayaan pengeluaran terpaksa dilakukan dengan uang NICA yang diterima dari Pemerintah Federal Sementara hingga berdirinya Republik Indonesia Serikat (RIS) pada Desember 1949.

Disarikan dari buku: 
Sejarah Kebijakan Moneter Indonesia Jilid I (1945-1948); Drs. Oey Beng To, terbitan Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia Jakarta 1991
Foto: dari berbagai sumber

Senin, 27 Agustus 2012

Saneering, 24 Agustus 1959

Dalam memori bangsa Indonesia tercetak beberapa peristiwa moneter yang bisa dikatakan penting dan, mmm..cukup mencengangkan. Salah satunya adalah kebijakan pemerintah untuk mengebiri nilai uang. fenomena moneter ini kemudian dikenal dengan istilah saneering, didasarkan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2/1959. Menetapkan penurunan nilai mata uang kertas seri hewan emisi 1957 dari pecahan bernilai 500 Rupiah bergambar harimau dan 1000 rupiah bergambar gajah, menjadi tinggal 10 persen saja dari nilai semula. Pecahan yang bernilai di bawah 500 dan 1000 tetap berlaku dengan nilai yang sama, sedangkan deposito di atas 25.000 rupiah dibekukan dan diganti dengan obligasi negara. Rupiah kemudian didevaluasikan terhadap dollar Amerika dari 1:11,4 menjadi 1:45.
Kabinet Kerja I yang dipimpin langsung Presiden Soekarno dengan Menteri Pertama  Ir. Djuanda Kartawidjaja dalam memori penjelasan mengungkapkan pengambilan kebijakan ini untuk  mengurangi volume uang yang beredar dan mencegah perdagangan gelap yang merugikan negara.
Kebijakan ini berselang sembilan tahun setelah diterapkannya Gunting Sjafrudin pada tahun 1950, salah satu usaha pemerintah dalam menyedot jumlah mata uang yang beredar  melebihi ambang batas. Tak urung masyarakat kembali dihantam oleh berbagai masalah ekonomi yang membuntuti sebagai dampak diterapkannya pengebirian uang. Sebenarnya kebijakan ini ditujukan terutama kepada kaum spekulan dan pemegang "uang panas". Tapi kenyataannya hampir seluruh masyarakat terkena. Sebab umumnya orang segan memegang pecahan limapuluh dan seratus atau lebih kecil lagi.


Teks: Wiwit Jawi Indah (dari berbagai sumber)
Foto: Repro Banknotes and Coins from Indonesia 1945-1990

Senin, 06 Agustus 2012

Koleksi Arsip dan Buku

Museum Bank Rakyat Indonesia memiliki sebuah perpustakaan yang turut melengkapi koleksi Buku dan Dokumen Museum. Sebagian koleksi buku yang tersimpan adalah buku-buku terbitan masa Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Di antaranya terdapat Volkscredietwetzen (tahun terbitan 1931 sampai 1941), Compedium van Dienstvoorschriften der Algemeene Volkscredietbank, Blaadje voor het Volkscredietwezen, Fragmenten van Indisch Privaatrecht dan lain sebagainya. Sebagian besar terbitan tersebut terbit pada tahun 1920 hingga 1940 an.


Arsip-arsip berharga Bank Rakyat Indonesia juga menjadi bagian dari koleksi dokumen Museum, di antaranya adalah salinan akta-akta pendirian Bank. Akta pertama adalah Staatsblad van Nederlandsche Indie No 205 tertanggal 11 Agustus 1897 disahkan di Bogor pada masa kekuasaan Gubernur Jenderal Van der Wijk. Akta ini menandai disahkannya Poerwokertosche Hulp Spaar en Landbouwcredietbank oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Kemudian terus muncul Akta-Akta baru seiring digantikannya keputusan-keputusan lama negara.

Buku koleksi juga mencakup bermacam terbitan berkala yang dikeluarkan oleh Volkscredietbank serta Verslag atau Buku Laporan dari beberapa Volksbank di daerah kekuasaan Hindia Belanda.

Menilik sejarah Bank Rakyat Indonesia tak dapat meninggalkan sejarah Banyumas, sebagai tanah tempat berpijak pertama kali. Babad Banyumas dan Uittreksel uit de Babad Banjumas adalah naskah-naskah yang dapat menceritakan sejarah yang pernah terjadi di Banyumas.
 


Teks: Wiwit Jawi Indah
Foto: Wiwit Jawi Indah

Senin, 07 Mei 2012

Lokakarya Guru Museum BRI


"Hari ini kita jatuh cinta" itulah kata pembuka yang dilontarkan oleh moderator Lokakarya Guru yang diadakan oleh Museum BRI.
Dan inilah cerita tentang kencan pertama kami yang kami adakan untuk merayakan hari pendidikan nasional dan museum sedunia :) 
Kami, museum dan sekolah. dan kita, :)
Lokakarya Guru Kabupaten Banyumas

Kamis 3 Mei 2012 Museum BRI mengadakan Lokakarya Guru Kabupaten Banyumas dengan tajuk "Museum BRI sebagai Wahana Pendidikan". Sesuai dengan tema yang dibawakan, program edukasi yang diselenggarakan Museum BRI dengan melibatkan kalangan akademisi dan Dinas Pendidikan ini berupaya menggandeng sekolah-sekolah agar berperan aktif memanfaatkan Museum BRI sebagai sarana pembelajaran.
Sharing bersama narasumber: Ki-Ka: Apenk Sunarto, M. Pd. dan Dra. D.S. Nugrahani

Sebagai Narasumber hadir Dosen Jurusan Arkeologi UGM Dra. D.S. Ania Nugrahani dan R Apenk Sunarto, M. Pd. selaku Kepala Bidang Pendidikan Menengah Dinas Pendidikan Kabupaten Banyumas. Sharing informasi dan pengetahuan oleh narasumber diharapkan dapat menggelitik gagasan-gagasan baru para pengajar berkaitan dengan pemanfaatan museum sebagai sarana pembelajaran.

seminar
tanya jawab bersama narasumber

Seminar dan diskusi yang dipandu oleh moderator dari penggiat pendidikan dan lingkungan Ignasius Kendal menjaring berbagai masukan-masukan yang dilontarkan oleh peserta. untuk lebih memicu ide dan gagasan yang lebih konkret peserta yang terdiri dari 23 Guru wakil 15 sekolah melanjutkan dengan kunjungan ke Museum BRI. 
kunjungan ke Museum BRI

Gagasan-gagasan kreatif tersebut kemudian dituangkan ke dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) sekolah sesuai dengan tingkatannya. 

diskusi kelompok menyusun RPP
menjaring potensi Museum BRI

Konsep RPP yang menjadi buah pemikiran lokakarya inilah yang akan menjadi titik tolak membangun sinergi antara Sekolah dan Museum ,yang mana keduanya merupakan institusi pelayanan pendidikan. 

presentasi RPP

Diharapkan untuk ke depannya Museum menjadi tempat jujugan siswa untuk menggali kreatifitas dan inspirasi yang mampu membangun karakter dan motivasi menjadi manusia yang lebih berbudaya dan tentu saja, cinta tanah air :)

 Selamat hari Pendidikan dan  
Hari Museum Sedunia :)
"Museums in a Changing World. 
New Challenges, New Inspirations". 


Teks: Wiwit Jawi Indah
Foto: Nurul Faizah

Minggu, 08 April 2012

Sahabat Museum BRI

holaaa,
apa kabar teman-teman?
Museum BRI membuka rekruitmen volunteer untuk bergabung sebagai Sahabat Museum BRI
kalau kamu :

  • mahasiswa
  • tertarik mencari pengalaman baru
  • menyukai dunia pendidikan
  • menaruh minat pada sejarah dan budaya
gabung yuuuuuuk :)

kirimkan biodatamu ke:
museumbri@gmail.com
cc wiwitjawi@gmail.com
CP: 085729581316 (wiwit)