Rabu, 07 Maret 2012

NICA, Money Issue

NICA, Money Issue

Pada tanggal 29 September 1945, pasukan Sekutu mendarat di pelabuhan Tanjung Priok Jakarta dalam rangka pelucutan senjata dan pemulangan tentara Jepang. Letjen Sir Montague Stopford, Panglima AFNEI ( Allied Forces Netherlands Indie), pada tanggal 6 Maret 1946 melarang anggotanya menerima uang Jepang. Sebagai gantinya dikeluarkan uang NICA (Netherlands Indische Civil Administration). Uang NICA tersebut dicetak di Australia pada tahun 1943 dan bergambar Ratu Wilhemina, dan atas perintah tentara pendudukan Sekutu menjadi alat pembayaran yang sah bagi semua pihak yang bertikai pada saat itu. 
Kurs penukaran uang NICA ditetapkan 3% terhadap uang Jepang. Berarti satu rupiah uang Jepang dinilai sama dengan tiga sen uang NICA. Hal ini menyulut protes dari pihak Republik, oleh Perdana Menteri Sutan Syahrir disebut sebagai tindakan pelanggaran kedaulatan RI dan mengingkari perjanjian untuk tidak mengeluarkan mata uang baru selama situasi politik belum stabil.
Dengan diberlakukannya uang NICA di daerah pendudukan, mulai menimbulkan kesulitan terutama bagi mereka yang berdiam di daerah pendudukan (seperti, Jakarta, Bogor, Bandung, Surabaya, semarang, serta sebagian Sumatera dan Palembang). Daerah pendudukan terpisah dari daerah produksi barang keperluan sehari-hari. Orang-orang yang bekerja di daerah pendudukan menerima upah dan gaji dalam bentuk uang NICA padahal para pedagang dan petani hanya mau menerima uang Jepang yang merupakan uang sah di Republik Indonesia, sebagaimana dianjurkan oleh pemerintah RI.
Keterbatasan dan ketidakwibawaan uang NICA itu berakibat merosotnya kurs. Dari tiga persen menjadi empat bahkan lima persen. Sementara harga barang-barang keperluan hidup terus membubung, sebab uang Jepang semakin banyak tersedot ke daerah produksi di pedalaman. Sedang di sana juga terjadi inflasi, di samping barang-barang sulit didistribusikan dari daerah itu.Seabaliknya, penduduk pedalaman kesulitan ketika harus memenuhi barang konsumsi seperti pakaian, obat, gula dan lain sebagainya yang hanya dijual di kota dan hanya dapat dibeli dengan uang NICA.
Untuk mematahkan dominasi uang NICA yang semakin menyebar, Pemerintah RI mencetak dan mengedarkan ORI (Oeang Republik Indonesia) pada tanggal 30 Oktober 1946 untuk menggantikan uang pendudukan Jepang. ORI selain secara politis ditujukan untuk menunjukkan kedaulatan Republik, juga untuk menyehatkan ekonomi yang dilanda inflasi hebat.
Pertarungan kewibawaan dua mata uang dari dua pihak tersebut memaksa setiap orang harus memilih. Menolak atau menerima uang NICA atau uang ORI. tak jarang terjadi insiden penganiayaan terhadap mereka yang tidak mau menerima uang NICA.


Menurut pakar Amerika George Mc. Kahin dalam bukunya pada tahun 1948-1950, menulis efek Serangan Umum 1 Maret 1949 atas kota Yogyakarta terhadap nilai tukar ORI dengan uang NICA.Menurut Kahin, ORI sederhana buatannya bergambar presiden Soekarno terlihat lebih mampu membangkitkan kekuatan yang besar, jauh melebihi perkiraan yang dapat dibayangkan oleh militer Belanda.


Teks: Dikutip dari Nagara Dana Raksa (Album Peringatan Oeang Republik Indonesia)
Foto: Koleksi Museum BRI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar